Politikus PAN Imbau Jokowi Copot Menteri yang Hendak Nyapres di Pilpres 2024
Rumah pemilu | 8 November 2022, 18:16 WIBJAKARTA, KOMPAS TV - Politikus PAN Guspardi Gaus mengimbau kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk segera mencopot para menteri yang dinilai akan diajukan sebagai capres dalam gelaran Pilpres 2024.
Menurut dia, bila para pembantu presiden itu tidak mengundurkan diri dan tetap menjadi peserta pesta demokrasi nanti dikhawatirkan bakal terjadi konflik kepentingan.
Baca Juga: MK: Menteri yang Mau Nyapres di Pilpres 2024 Tak Harus Mundur, Cukup Minta Izin ke Presiden
"Diharapkan kepada Presiden Jokowi bersikap arif dan bijaksana dalam menyikapi hal ini (menteri yang mau maju jadi capres di Pilpres 2024). Bisa saja Presiden menonaktifkan atau melakukan resuffle untuk para pembantunya (menteri) yang dicalonkan oleh partai politik sebagai capres ataupun cawapres pada perhelatan demokrasi 2024," kata Guspardi kepada Kompas TV, Selasa (8/11/2022).
Anggota Komisi II DPR RI mengatakan, dirinya menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengizinkan menteri tak perlu mundur dari jabatannya bila ingin maju sebagai peserta Pilpres 2024.
"Keputusan MK itu sudah inkrah yang sifatnya final dan mengikat, jadi kita tentu tidak perlu memperdebatkannya dan harus dihormati bersama. Namun begitu, kita perlu mempertanyakan dasar-dasar dari keputusan yang di ambil oleh MK," ujarnya.
Selain itu, kata dia, putusan MK akan berdampak terganggungnya kerja pemerintahan, karena potensi penyalahgunaan kewenangan, dan penggunaan fasilitas negara. Hal tersebut yang menjadi sorotan dari masyarakat.
"Ketika Menteri tidak perlu mundur dan hanya cuti tergantung Presiden apakah mengizinkan atau tidak. Di satu sisi presiden harus menghormati hak seseorang mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres."
"Di sisi lain Presiden menyadari apabila menteri tidak mundur, kinerja di pemerintahan bisa terpengarauh dan akan berpotensi terganggu. Dan itu tentu membuat dilema Presiden," katanya.
Ia menambahkan, dalam Undang-Undang No.39/2008 tentang Kementerian Negara menegaskan bahwa menteri ditugaskan untuk membantu presiden menjalankan tugas konstitusionalnya.
"Jika seorang Menteri mencalonkan diri jadi capres dan tidak mundur dari jabataanya, apakah ada jaminan bisa fokus bekerja dan tidak memanfaatkan fasilitas yang melekat dengan jabatannya ketika melakukan sosialisasi ke seluruh Indonesia."
"Menteri akan lebih fokus pada pemenangan di Pilpres berbeda dengan kepala daerah yang tidak harus mundur ketika maju mencalonkan diri kembali, wilayahnya kecil. Sedangkan pemilu presiden berskala nasional. Bayangkan ada 34 provinsi dan 500 lebih kabupaten/kota, medannya luas. Banyak konsekuensi dari sisi apapun," katanya.
Sebelumnya, MK menyatakan ada pembedaan perlakuan konstitusional terhadap kedua rumpun jabatan, yakni rumpun jabatan karena pemilihan (presiden, wakil presiden, anggota legislatif, kepala daerah) dan rumpun jabatan karena pengangkatan (menteri dan lainnya).
Padahal, apabila ditinjau dari perspektif seorang warga negara yang mengemban jabatan tertentu, sejatinya pada diri orang tersebut melekat hak konstitusional sebagai warga negara untuk dipilih dan memilih. Dengan catatan, hak tersebut tidak dicabut oleh undang-undang ataupun putusan pengadilan.
Dalam pertimbangan yang dibacakan hakim konstitusi Arief Hidayat, Senin (31/10/2022), terlepas pejabat negara menduduki jabatan karena sifat jabatannya atas dasar pemilihan ataupun atas dasar pengangkatan, seharusnya hak konstitusionalnya dalam mendapatkan kesempatan untuk dipilih dan memilih tidak boleh dikurangi.
MK menilai, adanya perlakuan yang berbeda terhadap menteri atau pejabat setingkat menteri sebagai pejabat negara harus mundur jika dicalonkan sebagai presiden atau wakil presiden menimbulkan pembatasan dalam pemenuhan hak konstitusional.
Baca Juga: Soal Dukungan Jokowi ke Prabowo, KSP: Presiden Dukung Semua Menteri yang Berprestasi
”Menurut Mahkamah, pembatasan dan pembedaan tersebut termasuk pula bentuk diskriminasi terhadap partai politik ketika mencalonkan kader terbaiknya sebagai calon presiden atau wakil presiden. Apalagi, hal tersebut dapat mencederai hak konstitusional partai politik dari perlakuan yang bersifat diskriminatif sebagaimana dijamin dan dilindungi oleh Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945,” ujar Arief seperti dikutip dari Kompas.id.
Penulis : Fadel Prayoga Editor : Purwanto
Sumber : Kompas TV