Politikus PAN Imbau Jokowi Copot Menteri yang Hendak Nyapres di Pilpres 2024
Rumah pemilu | 8 November 2022, 18:16 WIB"Jika seorang Menteri mencalonkan diri jadi capres dan tidak mundur dari jabataanya, apakah ada jaminan bisa fokus bekerja dan tidak memanfaatkan fasilitas yang melekat dengan jabatannya ketika melakukan sosialisasi ke seluruh Indonesia."
"Menteri akan lebih fokus pada pemenangan di Pilpres berbeda dengan kepala daerah yang tidak harus mundur ketika maju mencalonkan diri kembali, wilayahnya kecil. Sedangkan pemilu presiden berskala nasional. Bayangkan ada 34 provinsi dan 500 lebih kabupaten/kota, medannya luas. Banyak konsekuensi dari sisi apapun," katanya.
Sebelumnya, MK menyatakan ada pembedaan perlakuan konstitusional terhadap kedua rumpun jabatan, yakni rumpun jabatan karena pemilihan (presiden, wakil presiden, anggota legislatif, kepala daerah) dan rumpun jabatan karena pengangkatan (menteri dan lainnya).
Padahal, apabila ditinjau dari perspektif seorang warga negara yang mengemban jabatan tertentu, sejatinya pada diri orang tersebut melekat hak konstitusional sebagai warga negara untuk dipilih dan memilih. Dengan catatan, hak tersebut tidak dicabut oleh undang-undang ataupun putusan pengadilan.
Dalam pertimbangan yang dibacakan hakim konstitusi Arief Hidayat, Senin (31/10/2022), terlepas pejabat negara menduduki jabatan karena sifat jabatannya atas dasar pemilihan ataupun atas dasar pengangkatan, seharusnya hak konstitusionalnya dalam mendapatkan kesempatan untuk dipilih dan memilih tidak boleh dikurangi.
MK menilai, adanya perlakuan yang berbeda terhadap menteri atau pejabat setingkat menteri sebagai pejabat negara harus mundur jika dicalonkan sebagai presiden atau wakil presiden menimbulkan pembatasan dalam pemenuhan hak konstitusional.
Baca Juga: Soal Dukungan Jokowi ke Prabowo, KSP: Presiden Dukung Semua Menteri yang Berprestasi
”Menurut Mahkamah, pembatasan dan pembedaan tersebut termasuk pula bentuk diskriminasi terhadap partai politik ketika mencalonkan kader terbaiknya sebagai calon presiden atau wakil presiden. Apalagi, hal tersebut dapat mencederai hak konstitusional partai politik dari perlakuan yang bersifat diskriminatif sebagaimana dijamin dan dilindungi oleh Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945,” ujar Arief seperti dikutip dari Kompas.id.
Penulis : Fadel Prayoga Editor : Purwanto
Sumber : Kompas TV