> >

Taktik Manipulatif Penjahat Seksual Berdasarkan Studi

Hukum | 20 Juli 2022, 13:26 WIB
Ilustrasi - Taktik manipulatif sering kali dijumpai dalam kasus kekerasan seksual. (Sumber: Shutterstock via Kompas.com)

SOLO, KOMPAS.TV - Taktik manipulatif sering kali dijumpai dalam kasus kekerasan seksual. Perilaku manipulatif pelaku kekerasan seksual itu biasanya mewujud dalam bentuk penolakan atau penyanggahan atas pengakuan/kesaksian korban. 

Melansir dari Kompas.id, hal ini dikemukakan oleh Jennifer Joy Freyd, pendiri Center for Institutional Courage dan profesor emeritus psikologi Universitas Oregon, Amerika Serikat. Ia menilai  taktik manipulasi psikologis pelaku kejahatan seksual sebagai hal yang sangat umum dalam kasus-kasus kekerasan seksual.

Untuk memahami lebih jelas, sebut saja contoh kasus yang belakangan menggemparkan Indonesia. Pertama, kasus Moch Subchi (42) alias Bechi, pengurus Pesantren Shiddiqiyyah, Jombang, Jawa Timur, yang melecehkan lima santri pada 2017 dan 2018.

Korban yang melapor ke polisi justru dianggap pemfitnah. Simpatisan dan santri lain pun berusaha membela MSA saat akan ditangkap polisi meski MSA akhirnya ditangkap pada Kamis (7/7/2022) melalui upaya yang dramatis.

Kedua, kasus kekerasan seksual sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) Batu oleh Julianto Eka Putra, pendiri sekolah tersebut. Belasan siswa yang menjadi korban merasa difitnah dan disudutkan.

Mereka justru dianggap ingin menjatuhkan reputasi pelaku yang juga seorang motivator dan beberapa kali diundang acara televisi. Kasus JEP ini sedang dalam persidangan.

Baca Juga: Hati-hati, Bahaya Dekat dengan Orang Manipulatif, Ini Cara Jitu Menghadapinya

Dari kedua kasus itu terlihat bahwa pelaku dan pendukungnya akan mendiskreditkan dan menyerang kredibilitas korban dan berusaha membalikkan keadaan bahwa korbanlah yang memicu terjadinya kekerasan seksual sehingga pelaku hanya menjadi korban.

Serangan pelaku terhadap korban itu dilakukan untuk menenangkan keadaan atau menakut-nakuti korban dan pendukungnya. Tak jarang, mereka juga berusaha menarik simpati publik dengan mengaku hidupnya hancur akibat tuduhan-tuduhan tersebut.

Bahkan, pelaku sering kali justru melakukan gugatan balik secara hukum, baik atas tuduhan pencemaran nama baik maupun perbuatan fitnah.

Freyd menyebut taktik manipulatif itu sebagai DARVO yang merupakan akronim dari deny (menyangkal), attack (menyerang), dan reverse the victim and offender (membalikkan posisi korban dan pelaku). 

Dia menilai, publik sering kali terkecoh dan tidak sadar dengan tindakan pelaku untuk menutupi kejahatannya tersebut.

”Kurangnya kesadaran masyarakat akan siasat pelaku yang merusak itu tidak hanya berdampak pada pelaku, tetapi juga memiliki konsekuensi bagi korban dan masyarakat,” tulis Cynthia Vialle-Giancotti yang meneliti DARVO dalam tulisannya di situs The Clayman Institute for Gender Research, Universitas Stanford, AS, 13 Desember 2021.

Freyd yang meneliti perilaku ini sejak 1997 dan menamainya sebagai DARVO menilai perilaku pelaku kekerasan seksual itu mudah ditemukan dalam berbagai kasus kejahatan seksual, dari yang ringan intensitasnya sampai yang berskala besar. 

Taktik ini semakin mudah ditemukan dalam masyarakat yang menjadikan kredibilitas korban sebagai tolok ukuran kebenaran.

Baca Juga: Bechi, Terdakwa Kekerasan Seksual Santri di Jombang Bakal Ajukan Keberatan: Dakwaan Tidak Jelas

Studi Sarah Hersey dan Freyd pada tahun 2000 menunjukkan, saat teknik DARVO digunakan oleh pelaku kekerasan seksual, maka publik menjadi cenderung meragukan kredibilitas korban. 

Sedihnya, studi Harsey, Freyd, dan profesor psikologi Universitas California, Santa Cruz, AS, Eileen Zurbriggen, pada 2017 mendapatkan, korban yang menjadi sasaran DARVO justru pada gilirannya akan menyalahkan diri mereka sendiri hingga akhirnya memilih diam dan bungkam.

Antisipasi

Untuk mengantisipasi DARVO, maka pendidikan dan kesadaran akan adanya DARVO dengan segala potensinya bisa mengurangi efektivitas upaya manipulatif pelaku kekerasan seksual.

 Menurut Nicole Bedera, kandidat doktor sosiologi, Universitas Michigan, AS, jika masyarakat mendeteksi adanya DARVO dalam kasus kekerasan seksual, yaitu pelaku justru menyerang balik korban atau memosisikan dirinya sebagai korban, maka masyarakat harus waspada atas klaim-klaim pelaku.

Selanjutnya, masyarakat, lembaga penegak hukum, dan media perlu fokus kembali kepada korban.

"Kasus kekerasan seksual sebenarnya tidak akan pernah rumit jika kita fokus menghargai penyintas dan mendorong pemulihan korban. Kekhawatiran tentang apa yang harus dilakukan terhadap pelaku adalah pengalihan perhatian atas pekerjaan utama yang sejatinya lebih penting (yaitu berpihak pada korban),” tutur Bedera.

Penulis : Fransisca Natalia Editor : Purwanto

Sumber : Kompas.id


TERBARU