Hasil Penelitian Terbaru Tambah Bukti Ancaman Besar dari Sesar Baribis di Selatan Jakarta
Update | 26 Juni 2022, 16:28 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Hasil penelitian terbaru menambah bukti tentang ancaman gempa bumi yang mengepung wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya.
Hasil penelitian yang ditulis Guru Besar Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) Sri Widiyantoro dan tim, serta dipublikasikan dalam Scientific Reports-Nature pada Kamis, 16 Juni 2022, mengungkapkan adanya ancaman besar dari Sesar Baribis, jalur patahan di selatan Jakarta.
Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa bagian barat segmen Sesar Baribis yang aktif ini dalam kondisi terkunci.
Sehingga, jika energi regangan yang terakumulasi ini akhirnya dilepaskan, kawasan ini sangat rentan terhadap gempa bumi cukup besar di masa depan.
”Studi saat ini memfokuskan potensi gempa bumi besar yang terjadi di dekat Jakarta di masa depan jika zona patahan yang terkunci memang ada dan bisa lepas setelah mengumpulkan sejumlah besar energi regangan,” tulis Widiyantoro dan tim, dikutip Kompas.id.
Baca Juga: 5 Fakta Sesar Baribis, Disebut BMKG Jadi Potensi Gempa di Selatan Jakarta
“Oleh karena itu, kami merekomendasikan untuk memasukkan Sesar Baribis yang aktif dalam setiap pembaruan peta bahaya gempa bumi Indonesia sehingga bisa dimasukkan ke dalam perencanaan penanggulangan bencana dan desain bangunan.”
Temuan ini melengkapi sejumlah data sebelumnya, yang berupaya melacak aktivitas zona patahan di daratan padat penduduk.
Kota-kota besar di barat laut Jawa, seperti Jakarta, Tangerang, Bekasi, Karawang dan Purwakarta, diketahui ditopang oleh medan geologis kompleks yang dipengaruhi pertemuan Lempeng Australia dan Lempeng Eurasia di sepanjang Palung Jawa.
Sebelum penelitian tersebut, studi menyebut bahwa Sesar Baribis mengalami kemiringan 31 derajat ke selatan dan memiliki slip rate 1 mm/tahun (Hutapea and Mangape, 2009).
Sesar Baribis ini terletak di bagian utara Pulau Jawa, membentang dari Kabupaten Purwakarta sampai perbukitan Baribis di Kabupaten Majalengka (Van Bemmelen, 1949).
Simandjuntak dan Barber (1996) dan Simandjuntak (1992) menyatakan bahwa Sesar Baribis-Kendeng dapat ditelusuri dari Selat Sunda ke arah timur melintasi Jawa dan masuk ke Cekungan Bali, menghubungkan ke Flores Thrust, utara Flores, dan dapat berlanjut ke timur sebagai kelanjutan Sesar Wetar.
Aktivitas Sesar Baribis di bagian timur pernah memicu gempa bumi merusak di Kabupaten Majalengka pada 6 Juli 1990 (Soehaimi, 2008).
Hiposentrum gempa saat itu berkekuatan 5,8 pada 6,55 derajat Lintang Selatan dan 108,20 derajat Bujur Timur pada kedalaman 14 km (Supartoyo dan Surono, 2009).
Saat itu, lebih dari 150 rumah rusak dan menewaskan 1 penduduk desa serta melukai 7 orang di Desa Anggarwati, yang merupakan lokasi terdekat dengan pusat gempa.
Namun, gempa bumi yang signifikan belum tercatat di bagian barat Sesar Baribis, yang berjarak sekitar 25 kilometer di selatan Jakarta.
Bukan hanya ancaman gempa bumi dari zona subduksi ini, daerah ini juga disebut rentan terhadap gempa bumi dari patahan kerak aktif yang melintasi wilayah ini, antara lain, Sesar Cimandiri, Sesar Baribis, Sesar Lembang, Sesar Garut, dan Sesar Cipamingkis.
Sejarah juga mencatat, Jakarta berulang kali mengalami gempa bumi kuat, beberapa di antaranya bahkan sangat merusak.
Gempa kuat yang terdokumentasikan pertama kali, terjadi pada 5 Januari 1699.
Saat menyusun katalog gempa bumi di Kepulauan Indonesia periode 1538-1877, Arthur Wichman (1918), menyebutkan, gempa kuat di Jakarta pada 1699 terjadi saat hujan lebat.
Peristiwa tersebut merobohkan banyak bangunan dan menyebabkan longsor besar di Gunung Gede Pangrango dan Gunung Salak.
”Banjir bandang berisi lumpur dan kayu memenuhi Sungai Ciliwung di Batavia, mengalir ke laut. Di mana-mana terjadi kehancuran,” ujarnya.
Gempa kuat lain terjadi pada 22 Januari 1780, dan dianggap sebagai salah satu yang terbesar yang pernah melanda Jawa sebagaimana disebut Musson dalam British Geological Survey (2012).
Wichmann (1918) menyebutkan, getaran tanah terasa di seluruh Jawa dan Sumatera bagian tenggara, dengan daerah paling terasa di Jawa Barat.
Akibat peristiwa itu, setidaknya 27 gudang dan rumah runtuh di Zandsee dan Moor gracht (kanal), kini merupakan lokasi Pusat Kebudayaan Jakarta berada.
Selanjutnya, rangkaian gempa bumi melanda Jakarta pada malam 10 Oktober 1834, yang didahului oleh gempa besar pada dini hari.
Javasche Courant edisi 22 November 1834 menyebutkan, gempa ini juga dirasakan di Banten, Karawang, Bogor, dan Priangan. Bahkan, guncangan juga terasa hingga Tegal dan Lampung.
Beberapa bangunan yang dilaporkan mengalami kerusakan di Jakarta, di antaranya, rumah-rumah dan bangunan batu termasuk istana di Weltevreden (Paleis van Daendels/Het Groot Huis, Istana Gubernur Jenderal, baru-baru ini menjadi Gedung Kementerian Keuangan).
Rumah-rumah batu di Cilangkap, Jakarta Timur, juga rusak sebagian atau hancur.
Dampak dari gempa bumi tersebut juga dirasakan di Bogor, hampir semua bangunan batu rusak parah.
Bahkan, Istana Buitenzorg (Istana Bogor) sebagian runtuh, termasuk bagian utara bangunan pusat, dan dinding luar sayap timur. Stasiun pos di Cihanjawar terkubur seluruhnya di bawah tanah, yang menewaskan 5 orang dan 10 kuda mati.
Dengan pemodelan yang didasarkan pada sebaran kerusakan, Nguyen (2015) kembali menyimpulkan bahwa gempa kali ini juga bersumber dari Sesar Baribis.
Endra Gunawan, peneliti geofisika yang juga dosen di Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB, mengatakan, zona tektonik di selatan Jakarta memang aktif.
”Ini memang agak sensitif karena berkaitan dengan daerah yang padat penduduk. Tetapi, harus disampaikan apa adanya bahwa dari sisi sains, zona tektonik di selatan Jakarta memang aktif,” tuturnya.
Menurut Endra yang terlibat dalam serangkaian studi kegempaan di Jawa, khususnya sekitar Jakarta ini, kerentanan bencana tersebut perlu dikomunikasikan ke masyarakat.
Sehingga, mitigasi bancana sudah bisa mulai dipersiapkan.
”Selain tata ruang dan tata bangunan, juga edukasi dan pelatihan menghadapi gempa perlu disiapkan secara rutin,” kata dia.
Hal senada disampaikan oleh Koordinator Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono.
Terlebih, risiko guncangan karena gempa di Jakarta dan sekitarnya bisa diamplifikasi oleh kondisi tanah yang lunak karena tersusun endapan muda.
Baca Juga: BMKG Sebut Ada Potensi Gempa di Selatan Jakarta, Anies Bakal Cek Keaktifan Sesar Baribis
Dia mengingatkan gempa bumi berkekuatan M 5,8 dari zona subduksi yang melanda Jakarta pada 17 Maret 1997.
Kejadian itu menimbulkan kerusakan bangunan tembok di beberapa gedung di kawasan Jalan Jenderal Sudirman-Thamrin.
Demikian pula dengan gempa berkekuatan M 6,7 di Selat Sunda pada Jumat, 14 Januari 2022 pukul 16.05 yang menimbulkan kerusakan dan dirasakan cukup kuat hingga Jakarta.
Padahal, lanjut dia, potensi kegempaan dari zona subduksi di Jawa bagian barat ini bisa mencapai M 8,8, yang jika saatnya itu terjadi, dampak guncangannya hingga Jakarta pasti jauh lebih hebat.
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Kompas.id