> >

Pakar Hukum Tata Negara: Putusan MK Terkait Masa Jabatan Hakim 15 Tahun Rawan Konflik Kepentingan

Hukum | 22 Juni 2022, 23:43 WIB
Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, dalam Sapa Indonesia Malam KOMPAS TV, Rabu (22/6/2022). (Sumber: Kompas TV)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah masa jabatan hakim konstitusi dari lima tahun menjadi 15 tahun atau berumur 70 tahun rawan konflik kepentingan, Rabu (22/6/2022).

Ia menjelaskan, putusan tersebut menimbulkan pertanyaan terkait kenegarawanan hakim konstitusi.

"Yang perlu dipertanyakan yaitu kenegarawanan dari sembilan hakim MK untuk bisa memahami bahwa perkara ini sesungguhnya punya konflik kepentingan yang luar biasa," kata Bivitri dalam Sapa Indonesia Malam KOMPAS TV, Rabu (22/6/2022).

Ia beralasan, konflik kepentingan tersebut disebabkan karena hakim konstitusi menguji dan memutuskan pengujian atas Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK yang mengatur mengenai mereka sendiri, sehingga mereka menjadi pihak yang diuntungkan dari putusan tersebut.

Sebab, masa jabatan beberapa hakim konstitusi semestinya berakhir dalam waktu dekat tetapi berubah menjadi lebih lama setelah putusan itu diambil.

MK memberlakukan Pasal 87 huruf b UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK yang menyatakan bahwa hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat UU ini diundangkan, dianggap memenuhi syarat menurut UU tersebut, dan mengakhiri masa tugasnya tidak lebih dari 15 tahun.

Terkait perubahan masa jabatan hakim konstitusi yang mulanya lima tahun dan sekarang menjadi 15 tahun tersebut. 

Bivitri menilai hal itu menyebabkan masa jabatan hakim konstitusi menjadi lebih lama, sehingga memberikan kenyamanan terus-menerus.

"Lanjut terus kan, sampai usia 70 tahun atau pun 15 tahun (masa jabatan -red), jadi dengan itu otomatis ada beberapa yang langsung terkena UU ini dan mereka menguji sendiri UU ini, kemudian jadinya menikmati jabatan yang terlalu lama, nah ini yang sebenarnya dikritik," jelas Bivitri.

Baca Juga: MK Kabulkan Sebagian Gugatan, Anwar Usman Harus Mundur dari Kursi Ketua

Ia menerangkan, dalam hukum tata negara terdapat asas yang tidak memperbolehkan menilai hal-hal apapun yang terkait dengan dirinya sendiri.

Oleh karena itu, ia menilai kenyamanan atas lamanya masa jabatan tersebut dapat menyebabkan turunnya kualitas putusan MK.

"Menjadi hakim MK itu kan juga banyak kenyamanan, dan ini yang menurut pendapat kami akan membuat putusan-putusan MK menjadi cenderung menurun kualitasnya, karena ada kenyamanan yang diberikan, tapi tidak ada pengecekan di tengah jalan," terangnya.

"Dalam jabatan apapun, berkurangnya akuntabilitas juga akan menyebabkan turunnya performa kerja seseorang," imbuhnya.

Bivitri menambahkan, untuk mengurangi benturan kepentingan, sebaiknya putusan MK tersebut diberlakukan untuk hakim konstitusi periode selanjutnya.

"Putusannya bisa dibuat misalnya, supaya hanya berlaku setelah masa jabatan mereka berakhir. Maksudnya untuk hakim MK batch berikutnya. Nah dengan itu sebetulnya benturan kepentingannya menjadi berkurang," terangnya.

Ia juga mengkritik penolakan uji formil dan pelaksanaan uji formil MK yang dilakukan secara tertutup, namun dinilai konstitusional. 

"Ini tiga hari lho dibahasnya dan tertutup, tapi dinyatakan konstitusional, dengan alasan menindaklanjuti putusan MK, padahal kita bisa perdebatkan persoalan itu," kata Bivitri.

Sebelumnya, ia membandingkan putusan MK terkait UU Cipta Kerja yang dinilai inkonstitusional. 

"Sebenarnya itu tidak konsisten dengan putusan UU Cipta Kerja, yang bisa menyatakan satu proses itu inkostitusional," jelasnya.

Ia khawatir, uji formil MK akan semakin tertutup kedepannya.

"Jadi kami masyarakat sipil punya kekhawatiran yang cukup besar terhadap kedepannya etik dan legitimasi dari MK ini," pungkasnya.

Penulis : Nadia Intan Fajarlie Editor : Deni-Muliya

Sumber : Kompas TV


TERBARU