Profil Gesang, Maestro Keroncong yang Lagunya Mendunia hingga Dialih ke-13 Bahasa
Sosok | 20 Mei 2022, 11:56 WIBSOLO, KOMPAS.TV — Gesang Martohartono atau lebih dikenal Gesang merupakan seorang maestro keroncong Indonesia yang melegenda.
Namanya makin dikenal dunia, ketika satu lagu ciptaannya berjudul "Bengawan Solo" pada tahun 1940 sering dinyanyikan oleh penjajah Jepang.
Bahkan, lagu yang dibuat Gesang pada usia 23 tahun itu menjadi lagu favorit para musisi di Jepang untuk dinyanyikan.
Tak berhenti di situ, "Bengawan Solo" kemudian makin melegenda di dunia setelah diterjemahkan ke dalam 13 bahasa termasuk Jepang, Inggris, Rusia, dan Mandarin.
Berkat lagu "Bengawan Solo" juga kemudian Gesang berkesempatan keliling Asia. Bahkan Gesang pernah diundang dalam festival salju Sapporo di Jepang atas undangan persahabatan antara Sapporo dengan Indonesia pada 1980.
Sebagai bentuk penghargaan atas jasanya terhadap perkembangan musik keroncong, Jepang kemudian mendirikan Taman Gesang di dekat Bengawan Solo pada tahun 1983.
Adapun pengelolaannya didanai oleh Dana Gesang, sebuah lembaga yang didirikan untuk Gesang di Jepang.
Sebagai seorang komponis, pria kelahiran Surakarta, 1 Oktober 1917 ini tercatat sudah melahirkan puluhan anak rohani yang abadi hingga kini.
Baca Juga: Haul Gesang Pencipta "Bengawan Solo" Diperingati Hari Ini, Sejumlah Seniman Bakal Hadir
Selain "Bengawan Solo", berikut ini karya yang pernah ia gubah dan masih terus dinyanyikan oleh para penyanyi Indonesia.
"Jembatan Merah", "Saputangan", "Dunia Berdamai", "Si Piatu", "Roda Dunia", "Tembok Besar", "Seto Ohashi", "Pandanwangi", "Kalung Mutiara", "Pemuda Dewasa", "Borobudur", "Sebelum Aku Mati", "Bumi Emas Tanah Airku", "Urung", "Kemayoran".
Lalu, "Impenku", "Kacu-kacu", "Tirtonadi", "Sandhang Pangan", "Nusul", "Nawala", "Pamitan", "Caping Gunung", "Ali-ali", "Andheng-andheng", "Luntur", "Dongengan", dan "Jago Kluruk".
Selama tinggal di Solo, Gesang pernah menempati sebuah rumah pemberian Gubernur Jawa Tengah Soepardho Roestam di Perumnas Palur pada 1980. Rumah tersebut ia singgahi selama 20 tahun.
Kemudian setelah itu, sekitar tahun 2010 Gesang kembali tinggal di Jalan Bedoyo No 5 Kelurahan Kemlayan, Serengan, Solo.
Semasa hidup, Gesang meraih penghargaan Kebudayaan darai Kementerian Kebudayaan dan Priwisata pada 2010 dan memperoleh anugerah Bintang Kehormatan dari Kaisar Akihito pada 1992.
Dan karena lagunya yang mendunia, Gesang sempat pula diwacanakan memperoleh penghargaan sebagai pahlawan nasional oleh Pemkot Surakarta.
Tutup usia dan warisan abadi
Gesang tutup usia pada 20 Mei 2010 di Solo karena sakit dalam usia 92 tahun. Pada 13 Mei 2010 Gesang dibawa ke Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta karena mengalami gangguan pernapasan dan infeksi kandung kemih.
Kemudian, pada 16 Mei 2010 Gesang mengalami penurunan darah sehingga dipindahkan ke ruang ICU. Sempat dikabarkan meninggal dunia pada 18 Mei 2010, lalu pada 20 Mei 2010 Gesang tutup usia.
Dalam satu karyanya, Gesang seolah menyampaikan keinginannya untuk meninggalkan warisan abadi sebelum tutup usia.
Hal itu seperti tertuang dalam bait syair lagu "Sebelum Aku Mati": Akan kutinggalkan, Warisan abadi, Semasa hidupku, Sebelum aku mati.
Pada bait itu, rasanya keinginan Gesang sudah tunai. Berkat lagu-lagu yang diciptakan, ia berhasil meninggalkan warisan abadi.
Sebab kini, meskipun jiwanya sudah tiada namun lagunya masih terus hidup dinyanyikan banyak insan.
Bahkan pada Jumat, 20 Mei 2022, saat usia kematiannya memasuki 12 tahun kiprahnya masih dikenang oleh masyarakat Kota Solo. Diperingati di Taman Sunan Jogo Kali, penyelenggara akan menghadirkan sejumlah seniman keroncong, antara lain Endah Laras dan Woro Mustiko.
Baca Juga: Anak Muda Banyak Suka Lagu Pop, Tapi Woro Mustiko Pilih Keroncong. Merasa Terbebani? | Rosi
Penulis : Nurul Fitriana Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas TV