Riset Continuum Bantah Klaim Menteri Luhut Soal 110 Juta Pengguna Twitter Dukung Penundaan Pemilu
Politik | 27 Maret 2022, 06:10 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Continuum Data Indonesia merilis hasil riset terkait wacana penundaan pemilu. Hasilnya, mayoritas pengguna Twitter menolak penundaan pemilu.
Riset tersebut dilakukan berdasarkan analisis dari 76.000 perbincangan di Twitter pada 2 sampai 8 Maret 2022 terkait isu penundaan pemilu. Hasilnya, 79,5 persen cuitan berisi respons negatif terhadap wacana ini, 88 persen berisi sentimen emosi amarah dan takut merespons wacana ini, serta 92 persen cuitan secara spesifik berisi penolakan terhadap wacana penundaan pemilu.
“Dengan demikian, hasil ini berbeda 180 derajat dengan analisis big data yang dikemukakan Menteri Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan yang mengeklaim menemukan 110 juta pengguna Twitter mendukung penundaan pemilu,” ujar Data Scientist Omar Abdillah dalam zoominar Paramadina Graduate School of Communication General Lectures bertajuk Membaca Arah Politik di Balik Polemik Penundaan Pemilu (Pandangan Teoritis dan Analisis Big Data), Sabtu (26/3/2022).
Baca Juga: Demo Tolak Penundaan Pemilu dan Perpanjangan Jabatan Presiden
Menurut Omar, warganet pengguna media sosial Twitter biasanya lebih kritis, lebih punya perspektif lain terhadap fenomena apa yang terjadi di masyarakat.
Analisis data dalam riset ini juga memunculkan 45 persen perbincangan mengaitkan wacana tunda pemilu kepada Presiden Jokowi. Warganet juga meminta Presiden Jokowi menanggapi wacana penundaan pemilu.
“Apabila presiden masih bersikap mendiamkan terhadap isu yang amat rawan tersebut, maka dikhawatirkan masyarakat mengartikan sikap diam presiden Jokowi sebagai sebuah persetujuan terhadap usulan penundaan pemilu,” ucapnya.
Managing Director Paramadina Public Policy Institute Achmad Choirul Umam menilai seluruh elemen masyarakat sipil harus terus waspada dengan gerakan kampanye penundaan pemilu. Alasannya, sekalipun wacana cenderung melemah, namun potensi berubah arah masih terbuka masih terbuka mengingat operasi politik masih terus dilakukan.
“Inilah yang disebut sebagai ‘time-buying’ strategy,” tuturnya.
Artinya, strategi ini dilakukan bersamaan dengan strategi lain yaitu ‘face-saving’ strategy, yaitu semacam langkah antisipatif penyelamatan muka jika operasi ini gagal. Hal ini terlihat dari pernyataan-pernyataan yang muncul kerap ambigu dan tidak tegas menyikapi hal ini.
Ia beranggapan, jika masyarakat sipil dan seluruh elemen tidak waspada, maka bukan mustahil pengubahan konstitusi untuk mengakomodasi perpanjangan kekuasaan dapat terealisasi seperti yang telah terjadi di sejumlah negara yang memiliki basis demokrasi lemah seperti Argentina, Brasil, Kolombia, Pakistan, atau Rusia.
Sementara, Rektor Universitas Paramadina Didik J Rachbini berpendapat, terdapat indikasi hasrat memperbesar kekuasaan di balik wacana penundaan pemilu yang sedang terjadi. Satu teori ekonomi menyatakan, perilaku manusia pada dasarnya didorong perluasan kekuasaan (empire building theory).
Baca Juga: Belasan Warga di Kota Malang Lakukan Aksi Diam, Tolak Penundaan Pemilu
“Dalam lensa inilah, perilaku elite politik dalam mengusung wacana penundaan pemilu dapat ditafsirkan mempunyai tujuan untuk memaksimalkan profit dan memperluas kekuasaan,” ucapnya.
Ia juga menilai terdapat peran special interest groups dalam politik, yaitu kelompok kepentingan yang bergerak di bawah tanah dan keberadaannya tidak terlihat secara resmi. Special interest group ini memiliki perilaku rent-seeking, yaitu ‘menyewa’ kekuasaan politik untuk memperoleh keuntungan bisnis.
“Dalam wacana penundaan pemilu, rent-seeker tersebut perlu ditinjau berada pada area keuntungan bisnis tersebut,” ujarnya.
Penulis : Switzy Sabandar Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV