> >

Riset: Beberapa Negara yang Lakukan Amendemen Masa Jabatan Presiden Berakhir dengan Kekacauan

Politik | 23 Maret 2022, 10:00 WIB
Foto ilustrasi. Setidaknya 100 warga sipil di sebuah desa di Burkina Faso tewas dibantai oleh sekelompok orang bersenjata, kata pemerintah Burkina Faso hari Sabtu, (5/6/2021) seperti dilansir Associated Press.  (Sumber: AP Photo)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Isu perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu 2024 masih terus bergulir. Salah satu yang mengemuka adalah melalui amendemen UUD NRI 1945.

Namun PDI Perjuangan (PDIP), yang disebut melontarkan gagasan pertama amendemen, sudah secara resmi menyatakan tidak akan melanjutkan dengan alasan khawatir ada 'pendompleng'.

Amendemen konstitusi memang dimungkinkan. Namun khusus mengenai amendemen masa jabatan presiden, studi yang dilakukan oleh Kofi Annan Foundation menunjukkan hasil yang mengkhawatirkan. 

Dilihat dari situs kofiannandfoundation.org, dalam riset yang diberi judul 'Changing Term Limit: An Electoral Perpective pada 2016' memperlihatkan, ada beberapa negara yang melakukan amendemen namun berakhir dengan kekacauan, ketidakpuasan bahkan aksi kekerasan.

Baca Juga: Seberapa Mudah Sidang Istimewa Digelar untuk Amandemen Konstitusi demi Tunda Pemilu? | Rosi

Negara-negara  tersebut adalah Burkina Faso (2014), Kongo (2014), dan Burundi (2015). Bahkan di Senegal, pada 2012, Mahkamah Agung setempat sudah menetapkan bahwa presiden boleh memperpanjang masa jabatan, tidak lagi terikat pada dua kali masa jabatan.

Dalam riset tersebut juga disebutkan, gagasan memperpanjang masa jabatan itu didorong oleh keyakinan dari para pemimpin dan jajarannya apa yang disebut 'popular demand' atau aspirasi publik namun terjadi di tengah polarisasi masyarakat yang cukup dalam. 

Riset ini juga mengungkapkan, lingkaran kekuasaan dan para pendukungnya biasanya akan mencari 'legal loophole' atau interpretasi yang bisa menjadi alasan sebuah kekuasaan diperpanjang masa jabatannya.    

Tidak heran, dalam pengantar riset ini Kofi Annan yang pernah menjadi Sekjen PBB periode 1997-2006, menuliskan bahwa "Hal yang menyedihkan bahwa banyak pemimpin yang percaya bahwa tidak jadi masalah soal cara memenangkan sebuah pemilihan, karena itu semata untuk memperpanjang masa jabatan yang mereka mau."  

Menurut Dosen Bidang Ketatanegaraan, pengajar Magister Hukum dan Pembangunan, SPS Universitas Airlangga Radian Salman, gagasan penambahan masa jabatan presiden sering muncul pada situasi petahana berada di akhir masa jabatan. 

Baca Juga: PSI Dukung Amandemen UU1945 Jokowi Bisa 3 Periode, Peneliti: Memalukan

Dalam tulisannya di harian KOMPAS, Rabu (23/3/2022), Radian memberi penjelasan atas studi ini,

"yang menarik dari studi ini adalah gagasan menambah masa jabatan presiden seringkali dimulai dari klaim aspirasi publik dan berujung kacau karena memunculkan polarisasi dan proses yang manipulatif, termasuk gagalnya mempertahankan pemilu yang berintegritas".  

Riset dari Kofi Annan Foundatioan ini tampaknya memiliki beberapa kemiripan dengan yang saat ini jadi perbincangan di Indonesia.  
     
 

Penulis : Iman Firdaus Editor : Gading-Persada

Sumber : kofiannandfoundation.org/Harian Kompas


TERBARU