Pemikiran Soesilo Toer soal Pesimisme dan Sikap untuk Menyikapi Hidup
Sosok | 4 Maret 2022, 09:14 WIBPada masa itu, kecintaannya terhadap Tanah Air membuatnya ingin pulang di tahun 1966. Tepat setahun setelah Menteri/Panglima Angkatan Darat Soeharto saat itu, menyampaikan pengunguman resmi perihal Partai Komunis Indonesia (PKI) yang diduga menjadi dalang peristiwa hingga menewaskan enam jenderal.
Ternyata, paspor Soesilo dicabut karena ia lupa memperpanjang. Pertemuannya dengan Dirjen Imigrasi saat itu membawa hasil bahwa ia wajib lapor ke kedutaan selama dua tahun penuh.
"Cuma itungannya saya 4B waktu itu; bunuh, buang, bui, bebas. Kena bui 6 tahun," ujarnya kepada Wisnu Nugroho di acara tersebut.
Akhirnya saat kepulangannya ke tanah air, pada tahun 1972, ia langsung dibawa ke lapas kemayoran dengan tuduhan yang tidak diketahuinya hingga kini.
Ia bukan ditahan di lapas para tahanan G30S PKI, tetapi di 'Markas Kalong'. Dikutip dari Kompas cetak, 17 Januari 1967, satuan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) membentuk 'Operasi Kalong' yang bertujuan untuk menangkap sisa-sisa aktivis G30S di daerah Jakarta.
Ketika di Italia dan paspornya dicabut, seharusnya tuduhan yang diterima adalah pelanggaran imigrasi.
Akan tetapi, tuduhan itu justru diarahkan pada ketidakhadiran Soesilo saat tahlilan untuk enam jenderal diadakan. Ia dituduh pengkhianat atas dasar itu.
Padahal, tidak ada undangan yang datang kepada Soesilo Toer.
Walaupun dengan kepulangannya pasti akan menimbulkan masalah, tetapi Soesilo Toer berkata bahwa rumputnya adalah Indonesia dan ia akan mati di Indonesia.
Menurut penuturannya, saat ini pekerjaannya hanya tidur. Dengan sesekali menulis, menjual buku, atau memberikan catatan penulisan pada buku baru. Hal-hal itu lah yang membantunya menghasilkan uang.
Terkadang, bahkan ada yang meminta donasi buku untuk perpustakaan baru kepadanya, ia pun menjawabnya dengan kelakar bahwa pekerjaan utamanya hanya tidur.
Tetapi lelaki itu menganggap hal ini sebagai pembayaran utang, setelah sebelumnya diberikan kesempatan untuk berkuliah dan mengeksplor dunia secara gratis.
"Bacalah karena menulis itu jauh lebih susah. Itu kata Socrates," ujar Soesilo kepada Wisnu.
Ia juga menambahkan bagaimana seorang pesimis sepertinya bisa menulis, "Pram itu menulis karena kebutuhan hidup, saya menulis karena terpaksa."
Ketika Pram membawanya ke Jakarta untuk disekolahkan, ia hanya dibekali Rp10 selama sebulan untuk biaya hidup dan keperluan sekolahnya di Sekolah Taman Siswa Jakarta.
Jadi menurutnya, keterpaksaanlah yang membuatnya harus bisa menulis dan mendapatkan uang lebih sejak usia 13 tahun. Hal itu pun berlanjut ke keterpaksaan-keterpaksaan lainnya.
Simak kisah lengkap dari perjalanan hidup Soesilo Toer dalam siniar Beginu yang bertajuk 'Pola Pikir Pesimisme dan Tidur Terus' dengan mengakses tautan berikut https://dik.si/beginu_susilo.
Penulis : Dedik Priyanto Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV