Pengamat: Jaksa Agung ST Burhanuddin Perlemah Penegakan Hukum Dalam Pemberantasan Korupsi
Hukum | 1 Februari 2022, 09:19 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Cara pandang Jaksa Agung Saniter Burhanuddin dinilai telah memperlemah penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. Lantaran menganggap korupsi yang merupakan extra ordinary crime sebagai tindak pidana biasa.
Pernyataan itu disampaikan Pengamat Lingkar Madani Indonesia (LIMA Indonesia) Ray Rangkuti merespons pernyataan Jaksa Agung perihal pelaku korupsi Rp50 juta tidak perlu dipenjara.
“Cara berpikir seperti ini salah satunya seperti yang diperlihatkan oleh jaksa agung. Melihat korupsi semata urusan uang. Jadi kalau uangnya dikembalikan sanksi pidananya hilang,” kata Ray Rangkuti kepada KOMPAS TV, Selasa (1/2/2022).
“Di sinilah kelemahan ide Jaksa Agung yang merasa tidak perlu menuntut pelaku korupsi di bawah Rp50 juta bila sudah mengembalikan harta korupsinya. Jaksa Agung secara tidak langsung memberi gambaran bahwa korupsi itu seperti kejahatan perdata biasa. Tentu sangat disayangkan cara berpikir Jaksa Agung ini,” tambah Ray.
Baca Juga: Jaksa Agung Marah ke Anak Buahnya: Jangan Lagi Ada yang Ngemis-Ngemis Proyek, Ingat Itu!
Bagi Ray, cara pandang Jaksa Agung ST Burhanuddin telah melupakan aspek lain pemberantasan korupsi yakni menjaga amanah rakyat dan menegakkan pemerintahan yang bersih.
Padahal, aspek paling penting dari pemberantasan korupsi tidak bisa dipandang sebagai kejahatan biasa.
“Seperti umumnya tindak pidana pencurian, penyuapan, dan sebagainya,” ucap Ray Rangkuti.
Bagi Ray pemberantasan korupsi tidak seyogyanya berhenti pada sanksi pidana atau uang dikembalikan, maka seolah selesai perkara.
Bentuk pengkhianatan yang dilakukan terhadap amanah publik, serta prinsip menegakkan pemerintahan yang bersih juga harus menjadi dasar menghukum.
Baca Juga: ICW Minta Jaksa Agung Tarik Pernyataan Soal Korupsi di Bawah Rp50 Juta Tak Dihukum
“Sejatinya, tidak perduli berapa uang yang dikorupsinya, koruptor bukan saja dipidana tapi bahkan dicabut haknya untuk duduk di jabatan publik dalam beberapa waktu,” tuturnya menegaskan.
“Bagaimana negara memberinya jabatan yang sama setelah ia nyata-nyata mengkhianati rakyat yang memberinya amanah, dan negara yang memfasilitasinya di jabatan publik itu. Jadi koruptor bukan saja dihukum pidana karena mencuri uang rakyat, tapi juga ditunda haknya untuk jabatan publik di manapun,” tambahnya.
Penulis : Ninuk Cucu Suwanti Editor : Purwanto
Sumber : Kompas TV