Mengenang Abdul Karim Oei, Tokoh Muhammadiyah Kawan Seperjuangan Bung Karno
Sosok | 31 Januari 2022, 08:22 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Imlek sering diidentikkan dengan perayaan tahun baru masyarakat Tionghoa. Namun, momen ini juga sering dikaitkan dengan sejumlah tokoh Tionghoa yang banyak yang memberikan sumbangsihnya terhadap perjuangan di tanah air sejak dulu. Salah satunya adalah Abdul Karim Oei Tjeng Hien atau biasa disebut Karim Oei saja.
Pria kelahiran 6 Juni 1905 di Padang Panjang, Sumatera Barat ini, merupakan sosok yang pernah mewarnai perjalanan Indonesia sejak sebelum kemerdekaan hingga memasuki era kemerdekaan.
Setelah memeluk Islam pada tahun 1926 dan bersahabat dengan Buya Hamka, Karim Oei pun didapuk jadi pimpinan Muhammadiyah Bintuhan, Bengkulu. Dari sinilah nama Abdul Karim disematkan oleh Haji Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka).
Ketika sang proklamator Bung Karno diasingkan ke Bengkulu pada 1938, Oei berkesempatan berkenalan dan keduanya banyak terlibat dalam berbagai diskusi tentang agama dan negara.
Kehadiran sang proklamator memberikan semangat bagi warga Bengkulu tentang cita-cita kemerdekaan. Bung Karno, Hamka dan Oei kemudian bersahabat dekat bukan saja secara fisik tapi juga dalam pemikiran. Cita-cita kemerdekaan Indonesia perlahan mulai tertanam.
Baca Juga: Intip 7 Jenis Kue Mangkok Khas Imlek dan Tips Membuatnya
Persahabatan ketiga tokoh ini terekam dalam foto yang sudah melegenda, yaitu ketika Buya Hamka dan Soekarno berdiri sambil bersidekap sementara Karim Oei duduk di tengah sambil tersenyum.
Ketika Indonesia dipecah menjadi negara federal tahun 1948, pejabat Belanda JJ Van De Velde sangat sibuk menyiapkan pembentukan beberapa Negara Federal di Sumatera.
Setelah Negara Federal Bagian Sumatera Selatan dan Sumatera Timur terbentuk, mulai dipersiapkan pembentukan Negara Federal Bagian Bengkulu. Untuk itu, dikumpulkan semua pimpinan partai dan tokoh masyarakat, juga tokoh dari etnis Tionghoa dalam satu perundingan dengan pejabat Belanda. Tokoh penting Tionghoa Bengkulu yang memiliki pengaruh luas adalah Oei Tjeng Hien.
Dikutip dari situs muhammadiyah, suasana perundingan hampir semua sudah setuju membentuk Negara Federal, tinggal menunggu keputusan Oei, mengingat kondisi Indonesia dianggap sudah kalah ketika banyak pemimpin negara ditangkap dan dibuang ke Parapat.
Suasana perundingan digambarkan Oei dalam buku Haji Oei Tjeng Hien Mengabdi Agama dan Bangsa, sangat menarik. Dalam suasana penuh tekanan, Oei maju ke depan dan bertanya pada peserta, “Apakah pemerintah kita masih ada atau tidak? Negara RI masih ada atau tidak. . .?”
“Masih ada. . .” jawab sebagian besar peserta dalam suasana riuh. “Saudara-saudara bilang, pemerintah dan negara kita masih ada. Berarti Presiden, Wakil Presiden dan Menteri-Menteri kita masih ada. Meskipun mereka itu ditangkap dan dibuang di Parapat, tapi negara kita masih tetap utuh, dan Soekarno-Hatta masih tetap sebagai pemimpin negara Republik Indonesia. Bagaimana kita dapat bekerjasama dengan Belanda. Kita tidak bisa berbuat sendiri, harus menunggu keputusan dari pemerintah kita. Yang menyetujui, yang mendukung Negara Federal, itulah yang tidak lagi mengakui adanya pemerintahan dan negara RI, ini berarti penghianatan”.
Baca Juga: Kumpulan Twibbon dan Ucapan Imlek 2022 dalam Bahasa Inggris dan Indonesia
Pada akhir rapat, suasana menjadi kacau. Pembentukan negara Bengkulu gagal total. Namun hal itu harus dibayar mahal. Oei harus mendekam dalam penjara selama delapan bulan.
Setelah Indonesia Merdeka kiprah Oei tidak surut. Dia terjun ke dunia politik sebagai anggota DPR (1956-1959) yang mewakili kaum Tionghoa, dan ketua partai Masyumi Bengkulu (1946-1960).
Pada tahun 1961 Oei menggagas pendirian Persaudaraan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). Organisasi ini tak berafiliasi kepada partai politik manapun dan masih tetap berdiri sampai sekarang.
Ketika Masjid Istiqlal dalam proses pendirian, Oei ikut terlibat sebagai salah satu pimpinan (1967-1974). Dan saat Majelis Ulama Indonesia (MUI) dibentuk, Oei pun turut dalam jajaran kepengurusan.
Karim Oei meninggal dunia pada 14 Oktober 1988 di usia 83 tahun. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman umum tanah kusir, berdekatan dengan Maemunah Mukhtar, istrinya yang wafat pada tahun 1984.
Untuk mengenang jasa dan Haji Karim Oei, beberapa tokoh organisasi kemasyarakatan, yaitu NU, Muhammadiyah, KAHMI, Al-Washliah, ICMI, dan beberapa tokoh muslim Tionghoa mendirikan sebuah Yayasan Haji Karim Oei tahun 1991. Yayasan ini dibentuk sebagai pusat informasi Islam khususnya bagi kalangan etnis Tionghoa.
Penulis : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV