> >

Direktur Eksekutif Lokataru Tuding Kebijakan Wajib Tes PCR Untungkan Pihak Tertentu

Sapa indonesia | 2 November 2021, 22:59 WIB
Direktur Eksekutif Lokataru Iwan Nurdin menuding kebijakan yang mewajibkan tes PCR bagi penumpang pesawat menguntungkan pihak-pihak tertentu. (Sumber: Tangkapan layar Kompas TV)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Direktur Eksekutif Lokataru/Koalisi Masyarakat Sipil Iwan Nurdin menuding kebijakan yang mewajibkan tes PCR bagi penumpang pesawat, menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Pernyataan Iwan tersebut disampaikan sebagai tanggapan atas penjelasan Tenaga Ahli Utama Kedeputian II Kantor Staf Presiden (KSP) Abraham Wirotomo yang menyebut bahwa kebijakan wajib PCR disebabkan adanya 19,9 juta masyarakat yang berniat bepergian menjelang Natal 2021 dan Tahun Baru 2022.

“Apa yang dikatakan oleh Mas Abraham tadi menandakan bahwa ketika ada tren besar masyarakat hendak bepergian, travelling ketika menjelang Natal dan Tahun Baru, justru kebijakannya adalah membuat PCR. Sehingga muatan yang besar, motif yang besar dari masyarakat untuk bepergian itu ditangkap menjadi satu kebijakan yang menguntungkan pihak-pihak tertentu dalam bisnis PCR,” kata Iwan dalam Sapa Indonesia Malam KOMPAS TV, Selasa (2/11/2021).

Baca Juga: Begini Penjelasan Istana Soal Harga PCR dari Rp900 Ribu Turun ke Rp275 Ribu

Sebab, menurut Iwan, sejumlah kajian memperlihatkan bahwa moda pesawat terbang adalah tempat yang justru aman (dari potensi penyebaran Covid-19).

Sehingga seharusnya syarat perjalanan bisa diturunkan cukup dengan tes antigen, terlebih efektivitasnya sama tinggi dengan PCR.

Saat pembawa acara, Aiman, menanyakan tanggapan Iwan tentang etis atau tidak etiskah jika perusahaan PCR dimiliki oleh menteri atau afiliasi menteri, Iwan menyebut hal itu sesungguhnya adalah logika terbalik.

Karena saat masyarakat mengalami penurunan pendapatan akibat pandemi, dan mereka hendak bepergian, justru dibuat satu kebijakan yang menguntungkan para pengusaha.

“Bayangkan Rp10 triliun dalam satu tahun, ternyata difasilitasi lebih luas lagi untuk meraih keuntungan. Saya kira jalan keluarnya adalah pelibatan publik dalam soal audit BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) tadi, kemudian apa yang diinginkan masyarakat dalam proses pengendalian, pencegahan, dan penyebaran Covid-19,” tutur Iwan.

Transparansi

Sementara untuk menjawab pertanyaan yang sama, Abraham menyebut soal transparansi kebijakan tersebut.

“Pertama, saya jawab terkait transparansinya. Jadi sekali lagi untuk menjaga integritas harga dari PCR, pemerintah menggunakan auditor dari BPKP,” ucap Abraham.

Selanjutnya, pengadaan PCR tersebut dilakukan melalui e-catalog yang ada di Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), sehingga menurutnya, sudah memenuhi syarat good governance.

Baca Juga: Sorotan: Dugaan Praktik Mafia Bisnis Tes PCR, Sejumlah Pejabat Disebut Terlibat

Dia juga menyebut alasan mewajibkan masyarakat untuk menggunakan tes PCR atau antigen, yakni berdasarkan studi dari 97.855 responden, 13 persen mengatakan ingin melakukan perjalanan jarak jauh, terutama pada masa mendekati Natal dan Tahun Baru.

“Ini artinya ada 19,9 juta masyarakat yang ingin melakukan perjalanan.”

Harga tes PCR

Mengenai perubahan harga tes PCR, Abraham menjelaskan, saat awal pandemi hanya ada satu laboratorium yang bisa melakukan tes PCR, yakni di Jakarta.

Sehingga sampel-sampel dari luar Jawa dikirim ke Jakarta untuk tes PCR.

Per hari ini, kata dia, sudah ada 742 laboratorium di Indonesia yang bisa melakukan tes PCR. Oleh karena itu dengan perubahan kompetisi, maka harga menjadi lebih kompetitif.

Selanjutnya, kata Abraham, juga ada hukum permintaan dan penawaran.

“Sebagaimana masyarakat ketahui, pada saat kasus sedang meningkat tinggi, maka demand atau permintaan untuk PCR di global tidak hanya terjadi di Indonesia namun di berbagai negara. Oleh karena itu, harganya bisa tinggi saat itu.”

“Saat ini kasus sedang melandai, oleh karena itu harga juga bisa semakin kompetitif,” tambahnya.

Abraham menyamakan perubahan harga tes PCR tersebut dengan harga masker di awal pandemi. Menurutnya, pada saat itu produsen masker jumlahnya terbatas, permintaan masyarakat untuk masker sangat tinggi, oleh karena itu harga masker pada saat awal pandemi sangat tinggi.

“Namun saat ini, ketika jumlah produsen masker semakin banyak, maka harga masker juga semakin terjangkau.”

Dia menambahkan, pada saat itu Indonesia hanya bisa mengimpor PCR. Namun kini Indonesia telah mengembangkan teknologi di dalam negeri, sehingga bisa memroduksi PCR di dalam negeri sejak tahun ini, termasuk beberapa peralatan di belakangnya.

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Kompas TV


TERBARU