Apa Itu Gempa Swarm? Gempa yang Guncang Salatiga dan Sekitarnya hingga Puluhan Kali
Peristiwa | 24 Oktober 2021, 15:24 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan guncangan gempa yang telah terjadi puluhan kali di Salatiga dan sekitarnya dikategorikan sebagai gempa swarm.
Pernyataan itu disampaikan Kepala Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Daryono dalam cuitannya di akun Twitter pribadi @DaryonoBMKG, Minggu (24/10/2021).
"Jika kita mencermati data parameter gempa yang terjadi sejak Sabtu pagi dinihari tampak bahwa berdasarkan sebaran temporal magnitudo gempa, maka fenomena tersebut dapat dikategorikan sebagai gempa swarm," cuit Daryono.
Pengertian Gempa Swarm
Menurut Daryono, gempa swarm dicirikan dengan serangkaian aktivitas gempa bermagnitudo kecil dengan frekuensi kejadian yang sangat tinggi. Bahkan, gempa tersebut berlangsung dalam waktu relatif lama di suatu kawasan namun tidak disertai dengan gempa kuat sebagai gempa utama atau mainshock.
Penyebab terjadinya gempa swarm erat kaitannya dengan aktivitas kegunungapian, seperti transpor fluida, intrusi magma, atau migrasi magma yang menyebabkan terjadinya deformasi batuan bawah permukaan di zona gunungapi.
Bahkan, kata Daryono, dari beberapa laporan menunjukkan aktivitas swarm juga dapat terjadi di kawasan nonvulkanik atau aktivitas tektonik murni. Kendati demikian, gempa swarm terbilang jarang terjadi di kawasan nonvulkanik. Adapun wilayah nonvulkanik, gempa swarm dapat terjadi di zona sesar aktif atau kawasan dengan karakteristik batuan rapuh sehingga mudah terjadi retakan.
"Umumnya penyebab gempa swarm antara lain berkaitan dengan aktivitas vulkanik dan terjadi karena proses-proses kegunungapian," jelasnya.
Penyebab Gempa Swarm di Salatiga dan Sekitarnya
Gempa yang telah terjadi lebih dari 30 kali hingga Minggu, 24 Oktober 2021 di Salatiga dan sekitarnya diduga terjadi karena swarm akibat fenomena tektonik atau tectonic swarm.
Menurut Daryono, hal itu terjadi karena zona tersebut cukup kompleks berdekatan dengan jalur Sesar Merapi Merbabu, Sesar Rawapening, dan Sesar Ungaran.
"Dugaan tektonik swarm ini tampak dari bentuk gelombang geser (shear wave) yang sangat jelas dan nyata menggambarkan adanya pergeseran 2 blok batuan secara tiba-tiba," ungkap Daryono.
Gempa swarm tektonik umumnya terjadi karena adanya bagian sesar yang mengalami rayapan atau creeping, sehingga mengalami deformasi aseismik atau adanya segmen sesar yang tidak terkunci yang kemudian bergerak perlahan seperti rayapan (creep).
"Fenomena gempa swarm di Banyubiru ini tentu sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut dan menjadi tantangan bagi para ahli kebumian kita untuk mengungkap penyebab sesungguhnya," terangnya.
Durasi dan Dampak Gempa Swarm
Lebih lanjut, Daryono juga menerangkan soal durasi berakhirnya aktivitas gempa swarm yang berbeda-beda. Menurutnya, gempa swarm dapat berlangsung selama beberapa hari, beberapa minggu, bulan, bahkan hingga tahunan.
Salah satu gempa swarm yang terjadi menahun, yaitu swarm Mamasa Sulawesi Barat yang mulai terjadi sejak akhir tahun 2018 dan masih terus terjadi hingga saat ini.
Gempa swarm bukan pertama kalinya terjadi di Indonesia. Fenomenan alam ini, kata Daryono telah terjadi beberapa kali, seperti di Klangon, Madiun pada Juni 2015. Lalu, Jailolo, Halmahera pada Desember 2015, dan Mamasa, Sulawesi Barat pada November 2018.
Terkait dampak yang terjadi dari gempa swarm, Daryono menerangkan bahwa sebenarnya gempa yang terjadi berulang kali ini tidak membahayakan. Terlebih jika bangunan rumah yang berada di zona swarm tidak memiliki struktur yang kuat.
"Jika struktur bangunan lemah maka gempa swarm dapat menyebabkan kerusakan bangunan rumah, seperti yang saat ini sudah terjadi pada beberapa rumah warga di Banyubiru dan Ambarawa," terang Daryono.
Kendati dapat memicu kerusakan, BMKG mengimbau masyarakat untuk tetap waspada dan tidak panik. Gempa swarm yang sangat jarang terjadi ini harapannya dapat menjadi pembelajaran tersendiri bagi masyarakat. Terutama dalam hal mitigasi, seperti membuat bangunan yang kokoh dan aman gempa.
Bahkan, Daryono juga mendorong masyarakat paham soal mitigasi yang harus dilakukan saat terjadi gempa agar selamat. Bukan kemudian, berdoa agar tidak terjadi gempa. Hal itu disebabkan, karena gempa merupakan proses alami sebagaimana fenomena lain seperti hujan atau angin.
"Kita harus memperkuat kapasitas dengan mitigasi konkret, bangunan aman gempa dan tahu cara selamat saat gempa kemudian berdoa agar kita selamat, bukan berdoa jangan terjadi gempa. Karena gempa itu proses alam seperti turun hujan dan angin bertiup," pungkasnya.
Penulis : Nurul Fitriana Editor : Purwanto
Sumber : Kompas TV