Perkosaan Siswi di Papua, KPAI: Perkosaan Anak Adalah Pidana Berat, Harusnya Tidak Ada Perdamaian
Hukum | 12 September 2021, 20:25 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Komisi Perlindungan Anak Indonesia berpendapat bahwa kasus dugaan perkosaan yang menimpa empat siswi di Jayapura merupakan tindak pidana berat, sehingga seharusnya tidak ada perdamaian untuk kasus ini.
Penjelasan itu disampaikan oleh Komisioner KPAI, Retno Listyarti, Minggu (12/9/2021).
Retno mengatakan, pihaknya mengikuti pemberitaan tentang kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan oleh oknum politikus dan pejabat di Papua tersebut. Dari pemberitaan yang beredar, lanjut Retno, sudah ada perdamaian.
Tetapi, tindakan perkosaan adalah tindak pidana, yang menurutnya tidak ada perdamaian. Terlebih jika mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Anak.
“Tapi kan ini tindakan pidana. Tindakan pidana harusnya tidak ada perdamaian, dan menurut Undang-Undang Perlindungan Anak, bersetubuh dengan anak adalah perbuatan pidana, bahkan itu adalah pidana berat,” ucapnya menguraikan.
Baca Juga: KPAI Minta Dugaan Kasus Pemerkosaan 4 Siswi Jayapura oleh Oknum Pejabat Diusut Tuntas
KPAI, lanjut Retno, mengecam tindakan tersebut, dan mendorong pihak kepolisian untuk mengusut tuntas, meskipun ini dilakukan oleh pejabat.
“Apalagi ini tindak perkosaan dan korbannya adalah anak di bawah umur.”
Dalam menangani kasus ini, Retno meminta agar pihak kepolisian menerapkan undang-undang perlindungan anak. Sebab, menurut undang-undang perlindungan anak, kasus perkosaan atau pidana lain yang korbannya adalah anak, hukumannya lebih berat.
Dia juga meminta agar keempat siswi tersebut memperoleh perlindungan. Sebab, kasus ini melibatkan pejabat.
Dia mengkahwatirkan para siswi tersebut akan mendapatkan tekanan-tekanan.
“Nah, ini memerlukan perlindungan. Untuk itu kami mendorong LPSK untuk hadir dan melindungi para korban,” lanjutnya.
Baca Juga: Modus Mabuk, Oknum Satpam Ini Ditahan Kasus Pemerkosaan
Bahkan, sebagai bentuk perlindungan, jika perlu para korban tersebut ditempatkan di tempat yang aman. Kalaupun mereka harus tinggal di rumahnya masing-masing, harus ada perlindungan dari polisi yang berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
“Terakhir, kami meminta pemenuhan hak anak korban, mulai dari rehabilitasi secara psikologi. Ini pasti mengalami kekerasan seksual itu berat bagi korban dan traumanya bisa berkepanjangan.”
Untuk memulihkan trauma para korban, mereka harus segera ditangani secara psikologi oleh psikolog, baik yang disediakan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ataupun dari Dinas Sosial setempat.
Para korban juga memerlukan rehabilitasi medis. Ini adalah hak untuk korban.
“Setelah mengalami perkosaan, seperti apa kondisinya. Tentu ini memerlukan pengobatan atau rehabilitasi secara medis, dan itu tentu harus dipenuhi oleh pemerintah daerah,” tuturnya.
Diberitakan, empat siswi di Jayapura, Papua, mendapatkan pelecehan seksual oleh oknum pejabat Dinas PUPR dan politikus salah satu partai politik.
Keempat korban yang berusia 16 tahun tersebut berinisial, DOL, DAL, RW, dan OW.
Peristiwa terjadi pada April 2021. Oleh pelaku, korban diiming-imingi uang dan jalan-jalan ke Jakarta. Belakangan menjadi penculikan dengan disertai ancaman.
Aksi ini terungkap dari unggahan yang viral di Twitter.
Polda Papua mengaku telah melakukan penanganan terkait kasus tersebut. Sebanyak tujuh orang sudah diperiksa pada Sabtu (11/9/2021).
Namun belakangan terbetik kabar, kasus tersebut diselesaikan secara damai.
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV