Wapres soal Intoleransi di Sintang: Kalau Ada Unsur Kriminal, Hukum
Berita utama | 8 September 2021, 13:17 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan, pelanggaran terhadap kebebasan beragama seperti yang terjadi di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, harus ditindak tegas.
Dengan harapan, insiden intoleransi dalam beragama dan berkeyakinan tidak terulang atau terjadi di daerah lainnya.
Pernyataan itu disampaikan Wapres Ma’ruf Amin seusai meninjau Pembelajaran Tatap Muka di SMKN 19 Jakarta, Rabu (8/9/2021).
“Pokoknya kalau ada unsur-unsur kriminalnya, supaya tidak terjadi siapapun yang melanggar, hukum,” tegas Ma’ruf Amin.
Baca Juga: Ada Potensi Kejadian seperti di Sintang Terjadi di Tempat Lain, Komnas HAM Minta Keseriusan Polri
Ma’ruf Amin menuturkan dalam kehidupan beragama, bangsa ini sudah memiliki aturan-aturan yang cukup baik untuk diterapkan.
Untuk itu, kata Ma’ruf Amin, jika ditemukan pelanggaran dalam kebebasan beragama sebaiknya melapor dan tidak boleh melakukan penyerangan.
“Melaporkan boleh kalau ada pelanggaran, tapi tidak boleh melakukan penyerangan,” ujar Ma’ruf.
Dalam keterangannya, Wapres juga mendorong kepolisian untuk melakukan deteksi dini terhadap potensi pelanggaran dalam kebebasan beragama. Sehingga, potensi pelanggaran dalam kehidupan beragama dapat diantisipasi semaksimal mungkin.
“Pada prinsipnya (hukum) harus ditegakkan (terhadap) siapa saja. Dengan demikian kita tidak memberikan kesempatan lagi (bagi intoleransi) terjadi,” ujar Ma’ruf Amin.
Baca Juga: Soal Intoleransi di Sintang, Komnas HAM Minta Polri Juga Tangkap Penyebar Ujaran Kebencian di Medsos
“Aparat supaya juga selalu mengantisipasi kemungkinan itu lebih dini.”
Sebelumnya pada pekan lalu, Jemaah Ahmadiyah di Sintang, Kalbar, mengalami kekerasan dari sejumlah kelompok. Kekerasan yang diterima adalah pembakaran Masjid yang kerap digunakan untuk aktivitas ibadah bagi Jemaah Ahmadiyah.
Juru Bicara Ahmadiyah Yendra Budianana mengatakan peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap Ahmadiyah terjadi karena SKB 3 Menteri Tahun 2008 disalahtafsirkan oleh para pemimpin daerah menjadi sebuah larangan.
Dalam catatannya, Yendra mengatakan setidaknya lebih dari 30 peraturan daerah yang melarang kegiatan Ahmadiyah.
“(Larangan) Untuk sholat, untuk mengaji, untuk melakukan hal-hal yang berhubungan dengan agama islam yang seharusnya dijamin oleh negara sesuai konstitusi yang mengakibatkan banyak masjid-masjid ditutup oleh para kepala daerah,” ujarnya.
Atas sejumlah hal yang dialami Jemaah Ahmadiyah, Yendra menyatakan pencabutan SKB 3 menteri tentang Ahmadiyah adalah suatu hal yang mendesak.
Penulis : Ninuk Cucu Suwanti Editor : Purwanto
Sumber : Kompas TV