Komnas HAM: Ada Potensi Korupsi dalam Penyelenggaraan TWK Pegawai KPK
Hukum | 30 Agustus 2021, 09:59 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Komisioner Komnas HAM RI, M Choirul Anam, mengatakan ada potensi korupsi dalam penyelenggaraan alih status pegawai Komisi Pembersntasa Korupsi (KPK) menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Meskipun bukanlah ranah Komnas HAM, namun Anam berpendapat bahwa hal tersebut penting untuk disampaikan kepada publik.
Baca Juga: Jokowi Bisa Laksanakan Rekomendasi Komnas HAM dan Ombudsman Soal TWK KPK, Tak Perlu Tunggu MK dan MA
Dia mengatakan, potensi korupsi itu telah ditulis dalam laporan penyelidikan Komnas HAM terkait pelanggaran HAM dalam proses alih status pegawai KPK.
Ia menjelaskan, potensi korupsi tersebut terlihat pada tidak jelasnya penganggaran dalam pelaksanaan proses alih status Pegawai KPK.
Demikian disampaikan Anam dalam Diskusi Publik bertajuk Stigmatisasi dan Pelanggaran HAM dalam Proses Alih Status Pegawai KPK yang disiarkan di kanal Youtube Yayasan LBH Indonesia pada Minggu (29/8/2021).
"Memang ada, tidak digunakan MoU dan PKS (Perjanjian Kerja Sama) itu yang alasannya BKN sudah punya uang, diambilkan dari pendapatan negara non APBN, non Pajak itu, pendapatan BKN sendiri. Pertanyaannya kalau itu dipakai terakhir-terakhir, itu juga koruptif," kata Anam dikutip dari Tribunnews.com.
Baca Juga: Polemik TWK Ada Pelanggaran Hak Asasi Manusia? | Satu Meja The Forum (2)
"Bagaimana menyelenggarakannya? Atau siapa yang sebenarnya menalangi ketika pelaksanaan. Kan itu seribu sekian orang, kan minimal butuh alat tulis, minimal butuh makan, listrik dan sebagainya, siapa yang membiayai itu? Itu juga tidak jelas sebenarnya."
Lebih lanjut, Anam mengaku menyayangkan adanya potensi korupsi tersebut dalam konteks penyelenggaraan negara.
Dia menilai, perilaku tersebut tidak mencerminkan sebuah perilaku lembaga antikorupsi.
"Itu juga ada potensi yang dalam konteks penyelenggaraan negara kita sayangkan, bahwa sebagai satu lembaga negara yang anti korupsi kok perilakunya tidak mencerminkan soal-soal yang berbau (anti) koruptif itu," kata dia.
Baca Juga: Sikap Presiden Jokowi Soal Rekomendasi Komnas HAM Terkait Polemik TWK di KPK
Sebelumnya, Anam menjelaskan bahwa salah satu temuan faktual Komnas HAM di level teknis adalah pelibatan pihak ketiga.
Itu di antaranya Dinas Psikologi Angkatan Darat, BAIS, BIN, BNPT, dan Pusat Intelijen Angkatan Darat.
Menurut Anam, pelibatan mereka dalam proses TWK pegawai KPK tidak ada dasar hukumnya meskipun pada awalnya memiliki dasar hukum.
Terlebih, MoU dan Perjanjian Kerja Sama (PKS) terkait hal tersebut, kata dia, dibuat backdate dan dibuat terbalik. Seharusnya, kata dia, MoU dilaksanakan terlebih dulu ketimbang PKS.
Baca Juga: Komnas HAM Nilai TWK Langgar Hak Asasi Manusia, Pengamat: TWK Secara Program Tidak Salah
Namun faktanya yang terjadi adalah PKS dibuat lebih dulu ketimbang MoU. Selain itu, MoU juga dibuat backdate karena memang tanggalnya seolah dibuat mundur.
"Padahal dibuatnya April tapi ditulisnya Januari," kata Anam.
Namun karena MoU itu dinyatakan tidak digunakan baik oleh BKN maupun KPK, lanjut dia, pelibatan pihak ketiga tersebut tidak memiliki dasar hukum.
Menurutnya, perintah secara normatif dalam Perkom KPK terkait proses tersebut yang menyatakan bahwa penyelenggaraan asessmen bekerja sama dengan BKN tanpa ada rujukan teknisnya tidak bisa dilakukan.
Baca Juga: Ada Pelanggaran HAM, Yudi Purnomo: TWK KPK Tak Punya Legitimasi, Baik dari Sisi Hukum Maupun Norma
"Sehingga kami menyatakan bahwa karena ini tidak ada basis hukumnya makanya seluruh prosesnya menjadi proses ilegal, tidak berdasar hukum. Itu problem serius," kata Anam.
Seandainya MoU dan PKS dianggap ada, lanjut Anam, level hubungan BKN dengan berbagai lembaga tersebut juga tidak punya rujukannya.
Dalam penyelidikan, kata dia, ditemukan tidak ada dalam Perka BKN yang secara substansi mengatur lembaga tersebut bisa bekerja sama dengan pihak lain dalam proses alih status pegawai jadi ASN.
Baca Juga: Komnas HAM: TWK KPK Melanggar 11 Unsur Hak Asasi Manusia
Menurut Anam, yang disampaikan BKN kepada publik, ketika ditelusuri bunyinya tidak sesuai substansi yang diatur dalam Perka BKN di antaranya Perka BKN nomor 26 dan nomor 23.
"Kami telusuri dan kami konfirmasi tidak bisa dijelaskan dengan logis dan tidak bisa ditunjukan mana aturannya mana bunyi pasalnya dan sebagainya," ucap Anam.
"Ini juga problem serius. Itu di level hubungan, sehingga kami menyatakan penyelenggaraannya tidak punya basis hukum."
Baca Juga: Komnas HAM Nilai TWK Langgar Hak Asasi Manusia, Pengamat: TWK Secara Program Tidak Salah
Penulis : Tito Dirhantoro Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Tribunnews.com