> >

Ketua DPR ke Pemerintah: Jangan Keluarkan Pernyataan yang Membuat Rakyat Bingung

Politik | 19 Juli 2021, 08:19 WIB
Ketua DPR RI Puan Maharani. (Sumber: Istimewa)

JAKARTA, KOMPAS TV - Ketua DPR RI Puan Maharani meminta pemerintah untuk memperbaiki komunikasi publiknya di tengah pandemi Covid-19 yang terus mengalami peningkatan. Dirinya mengimbau agar para pejabat tak mengeluarkan pernyataan yang malah membuat bingung masyarakat. 

"Jangan malah mengeluarkan pernyataan yang membuat bingung rakyat dan memperkeruh situasi,” kata Puan seperti dikutip dari laman dpr.go.id, Senin (19/7/2021). 

Baca Juga: Sebelum Diperpanjang, Ketua DPR Minta Hasil Evaluasi Penerapan Protokol Darurat Kesehatan Dibeberkan

Politikus PDIP itu menyebut, perbaikan komunikasi itu lebih dahulu dengan menetapkan siapa sosok yang berhak mengeluarkan pernyataan ke publik ihwal perkembangan terbaru dari sebuah kebijakan. 
 
“Termasuk kejelasan siapa yang pegang komando komunikasi ini, terutama terkait dengan keputusan pemerintah,” ujarnya. 

Ia menjelaskan, semua upaya untuk sosialisasi, edukasi, dan persuasi, harus terus dan makin diintensifkan. 

“Terutama untuk menyampaikan program pemerintah ke depan, mulai dari bagaimana turunan program hingga pelaksanaannya, serta manfaatnya yang jelas bagi publik,” katanya. 

Mantan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) ini menyayangkan selama beberapa waktu ini ruang publik belakangan ini justru diramaikan oleh polemik yang kontraproduktif bagi penanggulangan pandemi Covid-19. 

“Harusnya ruang publik kita lebih banyak diisi oleh informasi-informasi yang bermanfaat buat masyarakat yang sedang isoman, yang sedang mencari tempat perawatan, obat-obatan, dan oksigen. Bukan justru diisi riuh yang bikin keruh,” ujar Puan.

Ia mengaku tak bisa membayangkan jika ruang publik terus diisi oleh polemik yang kontraproduktif selama masa-masa darurat ini. Oleh karenanya, dia meminta semua pihak menahan diri dan mengedepankan komunikasi yang simpatik.

Baca Juga: YLBHI: Pemerintah Pakai Istilah PSBB hingga PPKM untuk Hindari Kewajiban Penuhi Kebutuhan Warga

“Yang di lapangan juga harus penuh persuasi. Jangan sampai yang di atas memicu polemik dan di lapangan tidak simpatik saat melaksanakan tugasnya,” katanya.

Menurut pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga, selama pemberlakuan PPKM darurat pemerintah lebih banyak menggunakan komunikasi koersif.  "Akibatnya, komunikasi yang dikembangkan lebih banyak berisi paksaan, baik berupa sanksi, ancaman, kekhawatiran, atau ketakutan," katanya. 

Komunikasi koersif, kata Jamiluddin,  semakin banyak mengemuka sejak pemerintah memberlakukan PPKM Darurat se Jawa - Bali. Pesan-pesan yang memuat sanksi dan ancaman begitu dominan sehingga masyarakat merasa tidak nyaman dan dirundung ketakutan.

Padahal, dalam berbagai riset menunjukan, pesan-pesan menakutkan (koersif) tidak efektif digunakan kepada khalayak yang mengalami situasi krisis. Khalayak seperti ini dalam jangka panjang sudah hilang rasa takutnya. 

Jadi, kepada khakayak seperti itu diberikan pesan-pesan koersif justeru akan menjadi bumerang. Publik akan melakukan perlawanan demi mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Akibatnya, pesan-pesan koersif yang disampaikan pemerintah mendapat penolakan dari masyarakat. Sebagian masyarakat akhirnya lebih mempercayai pesan-pesan terkait Covid-19 dari teman, keluarga, atau media sosial.

Karena itu, komunikasi publik pemerintah harus diubah dari koersif ke persuasif dengan mengedepankan pendekatan komunikasi bottom up.

"Melalui komunikasi semacam ini, pemerintah lebih mengedepankan kebutuhan rakyatnya daripada kepentingannya," katanya.

Ditambahkan Jamluddin, pendekatan semacam itu dengan sendirinya lebih memanusiawikan masyarakat. Masyarakat akan menjadi lebih nyaman karena kebutuhannya diperhatikan.
 

Penulis : Fadel Prayoga Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU