Tak Mendapat Pembelaan, Pegawai KPK Pertanyakan Keberpihakan Para Petingginya dan Mekanisme TWK
Politik | 31 Mei 2021, 17:44 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Menjadi salah satu dari 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinyatakan tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK), Faisal Djabbar merasa tidak mendapat upaya pembelaan dari para petinggi lembaganya.
Dalam proses alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) itu, Faisal mempertanyakan keberpihakan para petinggi lembaga antirasuah tersebut.
Alih-alih mempertahankan, dalam rapat terbaru dengan para pimpinan sejumlah kementerian dan lembaga, petinggi KPK malah memutuskan untuk hanya menerima 24 orang yang masih bisa dibina dan 51 orang sisanya tidak bisa bekerja lagi di KPK.
Melihat keputusan itu, Faisal lantas menyebutnya sebagai bagian dari upaya melemahkan KPK yang merupakan organisasi dengan tugas untuk memberantas korupsi.
Baca Juga: Dicopot dari KPK, Stepanus Robin Pattuju Minta Maaf kepada KPK dan Polri
"Saya juga tak melihat keberpihakan pimpinan KPK untuk membela pegawainya sebagai aset terbesar dan terpenting organisasi," kata Faisal melalui keterangan tertulis, Senin (31/5/2021).
"Namun, saya masih berharap roh pemberantasan korupsi tak akan hilang dari diri pegawai KPK, apa pun yang terjadi," tambahnya.
Di samping itu, Faisal juga menyampaikan bahwa sejumlah pegawai sempat dibuat bingung dengan mekanisme, ukuran atau indikator penilaian, hingga nasib jika tidak lulus, sejak muncul kewajiban mengikuti TWK.
"Jawaban manajemen KPK tak ada yang tegas, kabur, dan malah menambah kebingungan. Selain itu, seingat saya, seorang pimpinan KPK mengatakan lewat email bahwa pada intinya TWK bukan untuk menyaring lulus atau tidak lulusnya pegawai KPK menjadi PNS," ungkap Faisal.
Baca Juga: Komnas HAM Sebut Stigma Terhadap Pegawai KPK yang Tak Lolos TWK Akan Menghancurkan Anak Cucunya
Meski begitu, yang terjadi saat ini nyatanya bertolak belakang dengan pernyataan yang diterima Faisal tersebut.
Faisal sendiri yang telah bekerja di KPK selama 15 tahun, awalnya juga mengira TWK adalah metode yang hanya untuk mengukur kedalaman wawasan kebangsaan seorang pegawai KPK.
Dengan hasil asesmen yang selanjutnya akan menjadi bahan untuk memberikan pemahaman kembali terkait hal-hal yang belum dimengerti atau belum diketahui.
Oleh sebab itu, selama sesi wawancara yang memakan waktu hingga dua jam, Faisal pun memposisikan dirinya terhadap asesor layaknya rekan diskusi.
"Saya mengutarakan pemikiran saya mengenai isu-isu yang ditanyakan asesor secara terbuka dan lugas. Bagi saya, sebuah pemikiran tidak bisa dihukum sebelum pikiran tersebut menjadi aktual. Begitu pula yang saya rasakan ketika wawancara TWK," terang Faisal.
Baca Juga: Di Tengah Polemik, KPK Gelar Karpet Merah untuk Pelantikan Pegawai KPK Jadi ASN
Salah satu isu yang dilempar asesor kepada Faisal, yakni pandangan mengenai Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Komunisme.
Mendapat persoalan seperti itu, Faisal pun mengutarakan bahwa pendirian PKI untuk saat ini tak perlu lagi ditakuti, lantaran popularitasnya sudah meredup dan memiliki citra yang kurang baik.
Faisal menambahkan, jika di era sekarang PKI ikut pemilu pun, akan sulit menurutnya untuk mendapat suara. Meski memang masih ada simpati masyarakat kepada korban tragedi 1965/1966.
"Yang sekarang harus dilakukan, bagi saya, adalah mengedepankan atau menampilkan paham-paham alternatif untuk berkompetisi dengan Komunisme, meskipun ada pula yang mengatakan bahwa paham komunis sudah tua renta dan tak lagi mempunyai kekuatan magis," Jawab Faisal.
Baca Juga: Koalisi Guru Besar Antikorupsi Minta Presiden Jokowi Batalkan Agenda Pelantikan Pegawai KPK Jadi ASN
Sementara, dalam pelaksanaan TWK, Faisal memiliki pandangan bahwa mekanisme yang dijalankan semestinya tidak sama dengan ujian calon pegawai negeri sipil (CPNS).
Menurut Faisal, TWK bagi pegawai KPK sebaiknya tidak menggunakan soal-soal yang bersifat salah-benar, layaknya soal yang diberikan kepada mereka yang memang berniat ingin menjadi PNS.
Faisal juga menyinggung proses asesmen TWK yang terkesan menyerupai proses interograsi, yang disusun dengan pertanyaan-pertanyaan lisan terstruktur guna mengorek informasi targetnya.
Penulis : Aryo Sumbogo Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV