Selamat Ulang Tahun, Pramoedya Ananta Toer, Sastrawan Indonesia yang Lahir 6 Februari 1925
Budaya | 6 Februari 2021, 16:37 WIBSOLO, KOMPAS.TV - Pramoedya Ananta Toer salah satu sastrawan terbaik Indonesia yang lahir hari ini 6 Februari. Sepanjang hidupnya pemerintah berganti-ganti memenjara Pram dan memberangus karya-karyanya. Namun, Pram tak kenal menyerah dan “anak-anak rohani” Pram terus mengusik orang-orang.
Pram lahir di Blora, Jawa Tengah pada 6 Februari 1925. Ia lahir sebagai sulung dari ayah seorang Kepala Sekolah Rendah (Sekolah Dasar) Institut Boedi Oetomo di Blora dan ibu seorang penjual nasi.
Mengutip laman kemdikbud.go.id, Pram sempat bersekolah di Sekolah Teknik Radio Surabaya selama 1,5 tahun hingga 1941. Pada 1942 ia merantau ke Jakarta dan menjadi juru ketik di Kantor Berita Jepang Domei.
Baca Juga: Sastrawan Haruki Murakami: Hadapi Covid-19, Pemimpin Politik Perlu Bicara Dari Hati Kepada Rakyatnya
Saat itulah ia mulai berkenalan dengan arsiparis HB Jassin dan sastrawan Idrus. Terpengaruh keduanya, Pram ikut menulis. Pram bahkan menulis secara lebih produktif.
Pram juga pernah mengikuti pendidikan di Taman Siswa (1942-1943), kursus di Sekolah Stenografi (1944-1945) dan berkuliah di Sekolah Tinggi Islam Jakarta (1945).
Pada 1945 Pram memutuskan berhenti dari pekerjaannya dan menjelajahi Pulau Jawa. Saat masa-masa revolusi kemerdekaan ia juga bergabung dalam Tentara Keamanan Rakyat menjadi seorang letnan.
Marinir Belanda menangkapnya pada 1947 karena Pram menyimpan dokumen gerakan bawah tanah. Ia mendekam di penjara pemerintah Belanda di Pulau Edam dan di Bukit Duri, Jakarta sampai tahun 1949.
Keluar dari penjara, Pram menjadi redaktur di Balai Pustaka selama 1950-1951. Pram lalu mendirikan dan memimpin Literary dan Fitures Agency Duta pada periode 1952-1954.
Baca Juga: Ajip Rosidi Meninggal Dunia, Berikut Karya-karya Sastra Suami Nani Wijaya
Pram kemudian bergabung dengan Lembaga Kesenian Jakarta (Lekra) yang kerap dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1958. Bersama Lekra, Pram mendorong ajaran seni realisme sosialis. Varian realisme inilah yang banyak tercermin dalam karya-karyanya.
Pada 1965 setelah peristiwa G30S, Pram ditangkap pemerintah Orde Baru karena dianggap sebagai anggota PKI.
Ia mengalami penyiksaan selama penahanan. Pram sempat merasakan penjara di Tangerang, Salemba, Cilacap, hingga pengasingan di Pulau Buru. TNI AD juga membakar karya-karya Pram.
Selama pengasingan di Pulau Buru, Pram tak kenal lelah menulis dan melawan. Di pengasingan ini ia bahkan menciptakan mahakarya Tetralogi Buru.
Namun, pemerintahan Soeharto melarang peredaran buku-bukunya di dalam negeri. Karya-karya Pram berhasil diselundupkan ke luar negeri dan diterjemahkan. Hal ini membuat nama Pram terkenal di mata internasional.
Baca Juga: Peran Sapardi Djoko Damono dalam Sastra Indonesia
Bersamaan dengan kejatuhan Soeharto pada 1998, Pram bebas dari pengasingan.
Hingga akhir hidupnya pada 2006, Pramoedya Ananta Toer selalu percaya aktivitas menulis adalah perlawanan. Baginya, menulis tak sama dengan menghibur. Seorang penulis adalah avant garde, kelompok pelopor.
“Seorang avant garde selamanya berada dalam keadaan berontak terhadap segala sesuatu yang mengurangi harga manusia, yang menindas, yang tidak adil,” kata Pram. “Kalau takut, jangan jadi pengarang.”
Penulis : Ahmad-Zuhad
Sumber : Kompas TV