> >

Amnesty International Minta Komnas HAM dan DPR Turun Tangan Usut Kematian 6 Laskar FPI

Peristiwa | 7 Desember 2020, 23:14 WIB
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid (Sumber: Kompas.com)

JAKARTA, KOMPAS TV - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi III DPR RI turun tangan mengusut kematian 6 anggota Front Pembela Islam (FPI).

“Komnas HAM harus ikut mengusut. Komisi III DPR RI juga perlu aktif mengawasi dan mengontrol pemerintah dan jajaran kepolisian,” kata Usman Hamid melalui keterangan resminya di Jakarta pada Senin (7/12/2020).

Selain itu, Usman mengatakan, polisi harus bersikap transparan dalam mengungkap insiden tersebut. Terutama menyingkap penyebab terjadinya penembakan terhadap para korban. 

“Jika polisi yang terlibat dalam insiden itu melanggar protokol tentang penggunaan kekuatan dan senjata api, mereka harus diungkap secara terbuka dan diadili sesuai dengan hukum dan hak asasi manusia,” ujar Usman.

Usman menuturkan, pihak kepolisian harus menjelaskan ihwal petugas yang terlibat dalam insiden penembakan tersebut. 

“Harus ada penjelasan tentang apakah petugas yang terlibat dalam insiden penembakan itu telah secara jelas mengidentifikasi diri mereka sebagai aparat penegak hukum sebelum melepaskan tembakan, dan apakah penggunaan senjata api itu dibenarkan,” kata Usman.

Menurut Usman, polisi hanya dibolehkan menggunakan kekuatan atau kekerasan dengan senjata api sebagai upaya terakhir. 

Itu pun, kata dia, harus dalam situasi luar biasa yakni untuk melindungi keselamatan dirinya dan atau orang lain. 

“Jika tidak, maka tindakan itu bisa tergolong unlawful killing,” ucapnya.

Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri tentang Penerapan Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Pelaksanaan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (No. 8/2009). 

Lalu, Peraturan Polisi tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian (No. 1/2009) menetapkan bahwa penggunaan senjata api hanya diperbolehkan jika sangat diperlukan untuk menyelamatkan nyawa manusia.

Serta penggunaan kekuatan secara umum harus diatur dengan prinsip-prinsip legalitas, kebutuhan, proporsionalitas, kewajaran dan mengutamakan tindakan pencegahan.

Usman menambahkan, penggunaan kekuatan, kekerasan, dan senjata api yang melanggar hukum oleh polisi tidak bisa dibenarkan.

“Terlebih lagi bila digunakan dalam kasus yang terkait dengan pelanggaran protokol kesehatan, yang seharusnya tidak berakhir dengan kekerasan,” kata Usman.

Sebelumnya, berdasarkan keterangan kepolisian yang disampaikan Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono, polisi mengikuti rombongan pengikut pimpinan FPI Muhammad Rizieq Shihab di tol Jakarta-Cikampek pada dini hari Senin, 7 Desember 2020. 

Argo mengatakan, polisi sedang menyelidiki laporan bahwa pengikut Rizieq berencana untuk menggelar demonstrasi selama pemeriksaan Rizieq, yang dijadwalkan oleh polisi, terkait dugaan pelanggaran protokol kesehatan Covid-19. 

Saat itu, sekitar pukul 00.30 WIB, sebanyak dua mobil dari rombongan Rizieq Shihab tiba-tiba menghimpit mobil yang digunakan polisi dan memaksa untuk berhenti. 

Para pendukung Rizieq yang berada di dalam mobil kemudian dituduh menodongkan senjata api dan senjata tajam ke arah petugas.

Petugas dengan dalih membela diri kemudian melepaskan tembakan yang mengakibatkan sedikitnya enam orang pendukung Rizieq tewas.

Sementara FPI juga telah mengeluarkan pernyataan tentang insiden tersebut yang mengklaim bahwa konvoi Rizieq Shihab dihentikan oleh sekelompok orang tak dikenal berpakaian preman. Kelompok itu kemudian menembak pengawal Rizieq Shihab. 

Dalam konferensi pers yang disiarkan melalui YouTube, pihak FPI membenarkan enam anggotanya yang tewas karena tembakan polisi.

Hal ini sekaligus meralat pernyataan mereka sebelumnya yang menyebutkan bahwa sebuah mobil yang membawa enam pengawal Rizieq hilang diculik.

Penulis : Tito-Dirhantoro

Sumber : Kompas TV


TERBARU