Bolehkah Habib Rizieq Rahasiakan Hasil Tes Usap? Ini Aturan Kesehatan yang Berlaku
Kesehatan | 28 November 2020, 16:46 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Muhammad Rizieq Shihab merahasiakan hasil tes usap yang telah dijalaninya. Secara aturan kesehatan, bolehkah hal itu dilakukan?
Wakil Sekretaris Umum FPI Aziz Yanuar menegaskan pihaknya tidak akan memublikasikan hasil tes usap yang telah dijalani Habib Rizieq Shihab.
"Itu adalah hak dari pasien. Ada saatnya nanti beliau memberitahukan, akan tetapi saat ini adalah hak beliau untuk tidak memublikasikan. Insya Allah sudah (tes)," kata Aziz kepada wartawan usai menjenguk Habib Rizieq di Rumah Sakit Ummi, Jalan Empang, Kota Bogor, Sabtu (28/11/2020).
Namun hak kerahasiaan rekam medis pasien yang dimaksud FPI dan Rizieq Shihab ternyata berbeda dengan aturan kesehatan yang ada.
Baca Juga: FPI Tak Mau Publikasi Hasil Tes Usap Habib Rizieq
Hal itu dijelaskan oleh Ketua Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) Mahesa Paranadipa secara visual kepada Jurnalis Kompas TV Diana Valencia, Sabtu (28/11/2020).
Dalam aturan Undang-Undang Kesehatan pasien memang berhak merahasiakan hasil rekam medis yang dimilikinya. Namun hal itu gugur jika rekam medis pasien terkait dengan wabah penyakit.
"Jika konteksnya hasil pemeriksaan kesehatan seseorang yang bukan menjadi sebuah kewajiban di UU Nomor 6 Tahun 1984 tentang wabah penyakit menular, maka itu tetap jadi sebuah kerahasiaan bagi pasien. Itu jadi hak otonomi pasien yang harus dihormati semua orang, termasuk bagi dokter dan pemberi layanan kesehatan," jelas Mahesa.
Jadi pada prinsipnya, hasil pemeriksaan pasien tetap menjadi rahasia. Tapi dalam kondisi tertentu, misal situasi wabah, hal tersebut tidak berlaku atau gugur.
"Sekalipun membuka rahasianya pun, terbatas tidak boleh identitas lengkap," kata Mahesa.
Dijelaskan Mahesa, di Undang-Undang Praktik Kedokteran ada kondisi di mana rahasia pasien bisa dibuka.
Baca Juga: Kembali Sambangi RS Ummi, Bima Arya Minta Habib Rizieq Tes Usap
Pertama, permintaan dari pasien itu sendiri. Kedua, ada permintaan dari aparatur penegak hukum atau pengadilan.
Kemudian ketiga, diatur dalam peraturan perundang-undangan bahwa rahasia tersebut tidak bisa lagi disimpan atau gugur kewajiban itu.
Dalam situasi pandemi Covid-19 seperti ini, menurut Mahesa, masyarakat yang melakukan rapid atau PCR harus dilihat terlebih dahulu, apakah pemeriksaan tersebut dilakukan secara sukarela, bukan dalam konteks tracing.
"Kalau dia masuk tracing, artinya seseorang diwajibkan untuk diperiksa disebabkan namanya masuk dalam daftar kontak terkonfirmasi Covid-19. Maka kalau itu tracing, yang bersangkutan wajib," tuturnya.
Hal ini diatur dalam Undang-Undang nomor 6 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Dalam UU ini disebutkan setiap orang wajib ikut serta dalam penanggulangan. Definisi penanggulangan disebutkan terkait epidemiologi, pemeriksaan, dll.
"Artinya kalau masuk dalam daftar tracing wajib ikut dan rahasia pemeriksaannya gugur. Jadi boleh dibuka, tapi kepada mereka yang berwenang saja."
Baca Juga: Keluarga Sebut Kondisi Habib Rizieq di RS Ummi Sehat Walafiat
Mahesa memahami, pemerintah memiliki kendala proses tracing, berbeda dengan negara lain yang masyarakatnya telah memiliki kesadaran, dan prosesnya sangat komprehensif.
"Diharapkan masyarakat jujur kepada petugas jika dilakukan proses tracing tersebut. Karena kalau tidak jujur sama saja membiarkan orang lain tertular," kata Mahesa.
Penulis : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV