Kajian KPK 82% Cakada Didanai Sponsor, Mahfud MD Sebut Permainan Cukong
Pilkada serentak | 12 September 2020, 06:10 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap kajian yang telah dimiliki institusinya, bahwa sebagian besar calon kepala daerah peserta Pilkada didanai oleh sponsor.
Hal ini diungkap oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam diskusi virtual bertema "Memastikan Pilkada Sehat: Menjauhkan Covid-19 dan Korupsi" yang digelar oleh Pusako FH Universitas Andalas secara virtual, Jumat (11/9/2020).
"Dalam kajian KPK sebelumnya, ada sekitar 82 persen calon kada (kepala daerah) didanai oleh sponsor, tidak didanai oleh pribadinya. Itu menunjukkan akan adanya aliran-aliran dana dari sponsor kepada calon kepala daerah," kata Ghufron.
Oleh karena itu, kata Ghufron, KPK memberi rekomendasi perlunya kerja sama dan koordinasi dengan PPATK dalam penyelenggaraan Pilkada. Karena PPATK memiliki kemampuan untuk menelusuri transaksi-transaksi keuangan para calon kepala daerah yang memungkinan terjadinya money politics.
Baca Juga: 72 Petahana Langgar Protokol Kesehatan di Tahapan Pilkada 2020, Ini Daftarnya
Menko Polhukam Mahfud MD yang juga menjadi narasumber dalam diskusi virtual itu, mengakui keberadaan sponsor yang disebutnya sebagai cukong. Menurutnya, permainan percukongan ini merupakan kelemahan Pilkada langsung.
Dituturkan Mahfud MD, pada tahun 2012 silam, KPK, KPU, Mendagri, MK, Kemenko Polhukam pernah terlibat dalam sebuah diskusi yang berangkat pada keprihatinan bahwa Pilkada langsung itu menimbulkan masalah besar. Maraknya korupsi yang semakin besar.
Saat itu Mahfud mengaku memiliki 12 catatan kelemahan-kelemahan pilkada langsung.
"Antara lain pemalsuan surat-surat, teror terhadap pemilih, penyalahgunaan jabatan, penyuapan antar pejabat, penyuapan dari cukong, penyuapan dari calon kepada pemilih yang kita kenal politik uang, dan sebagainya. Pada waktu itu dianggap sudah sangat merusak," tuturnya.
Penyuapan dari cukong ini yang melahirkan korupsi kebijakan. Korupsi kebijakan ini, lanjut Mahfud, lebih berbahaya daripada korupsi uang. Korupsi uang bisa dihitung, namun tidak bagi korupsi kebijakan.
"Seperti dikatakan Mas Nurul Ghufron tadi, di mana-mana calon-calon itu 92 persen (82 persen, red) dibiayai oleh cukong, dan sesudah terpilih itu melahirkan korupsi kebijakan," ungkap Mahfud.
Baca Juga: Mantan Napi Korupsi Daftar Pemilihan Gubernur Bengkulu
Mahfud memberi contoh, korupsi kebijakan dalam bentuk pemberian lisensi atau izin penguasaan hutan atau tambang.
Dalam undang-undang, kepala daerah bisa memberikan lisensi eksplorasi tambang sekian persen dari luasnya daerah. Namun ketika kepala daerah berganti, kepala daerah memberikan lisensi baru. Sehingga lisensi yang diterima bisa lebih luas dari daerahnya.
Hal ini pernah terjadi ketika Mahfud masih menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Di mana saat itu banyak uji materi mengenai hal-hal tersebut.
"Apa yang diperkarakan? Sengketa kewenangan, pengujian undang-undang, dan sebagainya," ungkap Mahfud.
Penulis : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV