Ini Perbedaan Praktik Politik Uang di Pilkada Langsung dan Tidak Versi Mahfud
Politik | 5 September 2020, 23:43 WIBJAKARTA, KOMPASTV – Menkopolhukam Mahfud MD menilai potensi politik uang dalam Pilkada langsung maupun tidak bakal tetap ada.
Perbedaannya hanya di paket praktik politik uang itu. Menurut Mahfud jika di Pilkada langsung, praktik politik uang dilakukan secara eceran. Sebaliknya kalau pilkada melalui DPRD politik uang dilakukan secara borongan.
“Kalau lewat DPRD itu borongan, bayar ke partai, selesai. Kalau ke rakyat seperti sekarang ini, bayar ke botoh-botoh, pada rakyat pakai amplop satu-satu," ujar Mahfud dalam webinar bertajuk Pilkada dan Konsolidasi Demokrasi Lokal, Sabtu (5/9/2020). Dikutip dari Antara.
Baca Juga: Mahfud MD Angkat Bicara Soal Dinasti Politik
Mahfud menambahkan praktik politik uang di pilkada tidak bisa dihindari. Bahkan dalam berita acara keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) ketika perdebatan pilkada harus langsung atau tidak ditulis bahwa potensi politik uang di pilkada sama saja.
Saat dirinya menjabat Ketua MK, kecurangan yang luar biasa, seperti penggunaan dana pemerintah oleh petahana di masa lalu, hingga bermacam-macam kejadian kriminalitas.
Sejauh ingatannya, ada 12 jenis pelanggaran pilkada yang ditangganinya, mulai dari Pidana sampai administratif.
Menurut Mahfud karena banyaknya kasus-kasus pelanggaran Pilkada membuat pemikiran sebaiknya pilkada kembali diakukan melalui pemilihan di DPRD.
Baca Juga: [EKSKLUSIF] Para Pemilih Terima Politik Uang, Benarkah Suara Mereka Mudah Tergadai? - AIMAN
Namun setelah itu, dalam prosesnya Indonesia memilih, pilkada digelar secara langsung dan dipilih oleh rakyat. Tentunya dengan pertimbangan sejumlah hal-hal positif yang didapat dari sistem tersebut.
"Jadi itu sudah final secara hukum itulah pilihan kita. Itulah sejarahnya mengapa kita harus tetap melaksanakan pilkada secara langsung, karena kita tidak bisa lagi memutar jarum sejarah, perdebatan sudah selesai," ujar Mahfud.
Dinasti Politik
Lebih lanjut Mahfud juga menanggapi dinasti politik yang tumbuh subur dalam Pilkada 2020. Menurutnya tidak ada hukum yang mengatur ihwal seorang kerabat pejabat publik maju mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah.
Baca Juga: Survei Litbang Kompas: 58 Persen Responden Setuju Ada Larangan Dinasti Politik
Mahfud mengatakan, praktik nepotisme atau kekerabatan tidak bisa dihindari, termasuk dalam gelaran Pilkada 2020 yang akan digelar pada 9 Desember mendatang.
"Mungkin kita sebagian besar tidak suka dengan nepotisme. Tetapi harus kita katakan, tidak ada jalan hukum atau jalan konstitusi yang bisa menghalangi orang mencalonkan diri berdasarkan nepotisme atau sistem kekeluargaan sekalipun," ujar Mahfud.
Mahfud menyatakan tidak ada negara di seluruh dunia yang mengatur larangan praktik kekerabatan dalam politik.
Ia menilai praktik politik kekerabatan tersebut tidak melulu bertujuan buruk.
Baca Juga: Caleg Gerindra di Kabupaten Lamongan Terjaring OTT Diduga Terkait Politik Uang
"Dulu di suatu kabupaten di Bangkalang, pernah orang berteriak, 'saya mau mencalonkan diri karena kakak saya memerintahnya tidak baik. Karena itu jangan dituduh saya nepotis, tapi karena kakak saya tidak baik'," tutur Mahfud.
"Jadi belum tentu orang nepotisme niatnya selalu jelek."
Mahfud menambahkan, salah satu aturan tentang larangan nepotisme yang dapat dicontoh yaitu peraturan yang pernah dibuat di zaman pemerintahan Belanda.
Kala itu, kata dia, ada aturan bahwa keluarga pejabat pemegang suatu proyek tidak boleh ikut terlibat.
Baca Juga: Kabar Menuju Pilkada 2020 dari Berbagai Kota
"Itu dulu ada di zaman Belanda, mudah-mudahan nanti di sini ada yang mengusulkan begitu untuk menghindari nepotisme di bidang ekonomi," ujar Mahfud.
"Saya kira di mana-mana tidak bisa dihalangi oleh hukum dan konstitusi. Kita tidak bisa melarangnya. Itu fakta."
Penulis : Johannes-Mangihot
Sumber : Kompas TV