Ganja Jadi Tanaman Obat, Begini Penjelasan Kementerian Pertanian
Kesehatan | 29 Agustus 2020, 14:15 WIBJAKARTA, KOMPAS TV - Kementerian Pertanian memasukkan ganja atau Cannabis Sativa sebagai komoditas tanaman obat pada tahun ini atau 2020.
Hal tersebut ditegaskan lewat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian.
Keputusan Menteri Pertanian tersebut sekaligus mencabut aturan sebelumnya yakni Keputusan Menteri Pertanian Nomor 141/Kpts/HK.150/M/2/2019 tentang Jenis Komoditas Tanaman Binaan Kementerian Pertanian. Dengan demikian, aturan sebelumnya tak lagi berlaku.
Baca Juga: Polisi Gagalkan 4,5 Kg Ganja Siap Edar Di Malang
Adapun Keputusan Menteri Pertanian Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian mulai berlaku setelah ditandatangani oleh Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo pada tanggal ditetapkan yakni 3 Februari 2020.
Masuk dalam binaan Direktorat Jenderal Hortikultura, tanaman ganja atau Cannabis Sativa menempati urutan 2 sebagai komoditas tanaman obat.
Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Kementerian Pertanian Tommy Nugrahamengatakan tanaman ganja adalah jenis tanaman psikotropika. Selama ini telah masuk dalam kelompok tanaman obat sejak tahun 2006 dengan Kepmentan 511/2006.
“Pada 2006, pembinaan yang dilakukan pihaknya adalah mengalihkan petani ganja untuk bertanam jenis tanaman produktif lainnya, dan memusnahkan tanaman ganja yang ada saat itu,” kata Tommy melalui keterang resminya yang dikutip Kompas TV pada Sabtu (29/8/2020).
Baca Juga: Pemusnahan Ladang Ganja Seluas 1,5 Hektar oleh BNN
Pengaturan ganja sebagai kelompok komoditas tanaman obat, hanya bagi tanaman ganja yang ditanam untuk kepentingan pelayanan medis dan atau ilmu pengetahuan, dan secara legal oleh UU Narkotika.
Adapun saat ini belum dijumpai satu pun petani ganja yang menjadi petani legal, dan menjadi binaan Kementan.
“Pada prinsipnya Kementerian memberikan ijin usaha budidaya pada tanaman sebagaimana dimaksud pada Kepmentan 104/2020, namun dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan,” ujarnya.
Adapun penyalahgunaan tanaman menjadi bagian tersendiri dan tentunya ada pengaturannya tersendiri pula.
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2020 tentang Hortikultura menyebutkan pada Pasal 67 (1) Budidaya jenis tanaman hortikultura yang merugikan kesehatan masyarakat dapat dilakukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau ilmu pengetahuan, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
Baca Juga: Tanam Ganja di Kos, Mahasiswa Ditangkap Polisi
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, kata dia, konsisten dan berkomitmen mendukung pemberantasan penyalahgunaan narkoba.
Sementara Kepmentan 104/2020 tersebut sementara akan dicabut untuk dikaji kembali dan segera dilakukan revisi berkoordinasi dengan stakeholder terkait (BNN, Kemenkes, LIPI).
Selain itu, Mentan berkomitmen memastikan pegawai Kementan bebas narkoba, serta secara aktif melakukan edukasi bersama Badan Narkotika Nasional (BNN).
Edukasi tersebut terkait pengalihan tanaman ganja ke tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan pada daerah-daerah yang selama ini menjadi wilayah penanaman ganja secara ilegal.
Anggota Lingkar Ganja Nusantara (LGN) Bandung, Fikri Akbar, mengatakan Indonesia bisa melakukan penelitian terkait ganja untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kesehatan.
Baca Juga: Drummer J-Rocks Ditangkap Polisi karena Simpan Ganja 1 Kilogram
Hal tersebut bahkan diatur dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Adapun ketentuannya dalam Pasal 7, menyebutkan narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/ atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menurut Fikri, UU mensyaratkan penelitian terhadap tanaman Cannabis Sativa boleh dilakukan setelah mendapat izin dari Kementerian Kesehatan.
Selanjutnya, kata dia, penelitian akan berkoordinasi dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) serta di bawah pengawasan BPOM.
Pada 2014, Yayasan Sativa Nusantara sudah mendapat izin dari Kemenkes untuk meneliti ganja sebagai obat diabetes.
Baca Juga: Kronologi Penangkapan Truk Yang Membawa Ganja 500 Kilogram dari Aceh.
Sayang, penelitian ini terkendala pengadaan barang karena tidak berhasil mendapatkan ganja sebagai objek penelitiannya.
“Kita pernah diizinkan untuk riset tanaman ganja dari Kemkes, barangnya harus dari BNN. Bahannya koordinasi dengan BNN,” kata Fikri Akbar dikutip dari rumahcemara.or.id. pada Rabu (19/2/2020).
Fikri juga mengatakan, adanya payung hukum terhadap penelitian ganja semestinya menjadi jaminan bagi peneliti tanpa takut dipenjara dengan alasan penyalahgunaan narkotika.
Jaminan tersebut harus ditindaklanjuti instansi terkait seperti Kemenkes, BNN, dan BPOM. Namun ia belum melihat adanya komitmen untuk menjalankan jaminan tersebut.
Baca Juga: BNN Gagalkan Penyelundupan 500 Kilogram Ganja di Tumpukan Pisang
Karena itu, LGN terus mendorong pemerintah untuk melihat pentingnya pemanfaatan ganja untuk kepentingan riset. Ia tidak sepakat dengan istilah “legalisasi ganja” yang terkesan menstigma ganja itu sendiri.
Menurutnya, ganja merupakan tanaman khas Indonesia. Dalam literatur, tanaman ganja sudah digunakan masyarakat Jawa untuk pengobatan maupun rekreasi sejak abad ke-10.
Namun dalam sejarahnya, ganja sengaja dinarasikan sebagai tanaman bawaan Belanda yang baru masuk ke nusantara sejak abad ke-15.
“Pemanfaatan ganja sudah sangat jauh di Indonesia. Di Aceh ada kitab Mujarobat peninggalan Kerajaan Aceh yang menyebutkan tanaman ganja bisa dipakai untuk pengobatan diabetes,” kata Fikri.
Baca Juga: Polisi Tangkap Kurir Ganja, Diselundupkan di Makanan Dodol
Penulis : Tito-Dirhantoro
Sumber : Kompas TV