> >

Membaca Peta Media Sosial Pendukung Jokowi vs Kampanye Hitam

Opini | 4 Juli 2020, 11:12 WIB
Ilustrasi: buzzer beraksi di media sosial. (Sumber: KOMPAS.COM/SHUTTERSTOCK)

Oleh: Ulin Yusron, Relawan Jokowi, Penggiat Media Sosial @ulinyusron, Mahasiswa Penciptaan Seni, Pasca Sarjana Institut Kesenian Jakarta

 

Fenomena buzzer belakangan ini semakin ramai diperbincangkan. Buzzer bukanlah hal baru dalam dunia digital. Dari dulu brand sudah terbiasa menggunakan buzzer untuk membantu mempromosikan produk dan layanannya di media sosial. Kebiasaan ini juga diikuti dalam dunia politik, dimana buzzer juga membantu mengkomunikasikan pesan-pesan politik.

Perbedaannya, biasanya buzzer di dunia bisnis hanya mempromosikan hal-hal positif terkait brand yang mereka bantu. Sementara di dunia politik, selain mengkomunikasikan hal-hal positif, buzzer juga seringkali mengkomunikasikan hal-hal negatif terkait kompetitor tokoh atau parpol yang mereka dukung. Dua hal ini sah-sah aja, karena masyarakat berhak tau semua fakta terkait tokoh dan parpol, baik positif maupun negatif. Yang diharamkan adalah apabila melakukan kampanye hitam, yang berisi fitnah dan hoaks.

Presiden Jokowi, adalah salah satu tokoh politik yang pertama menggunakan media sosial dalam kampanyenya, sejak Pilkada DKI Jakarta 2012. Fenomena relawan media sosial juga mulai muncul untuk mendukung Jokowi. Relawan media sosial di Pilkada DKI Jakarta ini berlanjut sampai Pilpres 2014 dan 2019. Karena sifatnya adalah relawan, hubungan sangat cair, tersebar dan banyak yang melakukannya tanpa pamrih. Sehingga menghasilkan Social Network yang sangat besar. 

Menyadari besarnya dukungan relawan terhadap Jokowi, membuat kompetitor politiknya juga berusaha memanfaatkan media sosial untuk melakukan kampanye negatif terhadap Jokowi. Sayangnya banyak penumpang gelap yang ikut menunggangi, dengan kampanye hitam, yang berisi hoaks dan fitnah. Kita masih ingat berbagai fitnah yang ditujukan kepada Jokowi, seperti Jokowi Non Muslim, Jokowi keturunan Cina, Jokowi keturunan PKI dll. Bahkan fitnah-fitnah tersebut juga menyerang keluarganya. 

Sangat disayangkan kampanye hitam merusak kualitas demokrasi di Indonesia. Jokowi adalah korban kampanye hitam terbesar di Indonesia. Jokowi bukan hanya korban kampanye hitam saat kontentasi Pilpres, tapi ia tetap jadi korban meskipun taka da kontestasi yang sedang dan akan diikutinya lagi.

Dari mesin MediaWave, tercatat 9.222.191 serangan yang ditujukan kepada  Jokowi pada periode Januari 2018 hingga Mei 2020. Jumlah serangan ini bahkan lebih besar dari postingan dukungan, yang hanya berjumlah 3.359.158. Serangan-serangan ini sangat masif dan sistematis, bahkan juga menyerang orang-orang yang mendukung Jokowi, yang sudah menjadi Presiden terpilih. Mereka dilabeli dengan julukan BuzzeRp, seolah-olah dukungannya bisa dibayar. Padahal kalau kita runut ke belakang, basis dukungan terhadap Jokowi bersifat sukarela.

(Sumber: Twitter tool dashboard mediawawe/Ulin Yusron)

 

Contoh terkini kita melihat seorang artis, Baim Wong, hanya mengucapkan selamat ulang tahun kepada Jokowi. Dan langsung dibully di media sosial.

 

Saat ini bahkan kelompok yang benci sama Jokowi membuat persepsi bahwa Indonesia menjadi negara yang otoriter. Kelompok ini menuduh di media sosial dengan ringannya tanpa pernah mengalami 3B (buru, bui, bunuh), seperti yang dialami aktivis di masa rezim otoritr Soeharto. Sebuiah anomali menuduh pemerintah otoriter, sebab faktanya mayoritas masih bebas bersuara, pembatasan  orang bersuara seperti rezim Orde Baru tidak ada.

Bagaimana mungkin, Indonesia di bawah Pemerintahan Jokowi dianggap otoriter sementara Presidennya diserang terus bahkan hampir tiap hari menjadi trending topics. Serangan-serangan yang dilakukan terhadap Presiden banyak menggunakan kata-kata yang sangat kasar dan tidak pantas.

Sublim Politik di Media Sosial

Data dashboard Mediawave menunjukkan pada November 2018 kelompok pembenci Jokowi menggaungkan tagar #2019GantiPresiden. Lalu pada data April 2020 kelompok ini menyublim kekuatannya dengan tagar #ImpeachmentJokowi dan tagar #MakzulkanJKWBubarkanPDIP. Ada persamaan kekuatan kelompok netizen, baik dari akun-akun yang digunakan, pola narasi, orkestrasi, diksi yang dipakai dan pola mobilisasinya yang menunjukkan kesamaan kelompok.

Kelompok ini kalau mau diidentifikasi berasal dari unsur veteran relawan Anies Sandi di Pilgub DKI Jakarta saat bertarung melawan Ahok-Djarot, barisan tiga angka cantik yang mendadak jadi fanboy  orde baru, suka mengagungkan ke-pribumi-an dan berlaku rasis, dikit-dikit menuduh PKI, suka berteriak asing dan aseng, kerap menggunakan jargon NKRI Bersyariah sebagai penghalusan khilafah dan yang terakhir kelompok HTI yang dibubarkan pemerintah Republik Indonesia dan dilarang di berbagai negara.

Terlihat jelas ini adalah pergerakan kelompok sakit hati. Saat figur Prabowo yang dianggap menjadi figur pemersatu untuk mengalahkan Jokowi memilih merapat sebagai bagian pemerintahan Jokowi, kelompok ini mengonsolidasikan kekuatannya mencari figur baru untuk diadu dengan Jokowi. Sosok baru itu adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Operasi politik di jagad media sosial yang mereka lakukan adalah mendelegitimasi Jokowi sembari menaikkan Anies. Mendeligitimasi Jokowi meliputi menghabisi kekuatan pendukung Jokowi, baik partai, ormas, relawan maupun figur, tokoh influencer , selebriti bahkan netizen biasa.

Adakah yang salah bila pendukung Jokowi mengonsolidasikan dan melawan kelompok pembenci Jokowi di media sosial? Kalau ada yang menganggap relawan media sosial Jokowi tidak boleh bersuara, dan harus dibungkam, itu sih kebangetan. Ada juga yang minta pendukung Jokowi di media sosial ditertibkan.

Bukankah yang paling sering bikin gaduh, melakukan serangan secara membabi buta (kasihan babinya), adalah barisan sakit hati yang kalah di Pilpres dan tidak terima Prabowo duduk di gerbong yang sama dengan Jokowi? Lebih-lebih lagi melihat Sandiaga Uno menjadi Ketua Relawan Indonesia Lawan Covid-19

Pendukung Jokowi itu lebih banyak bertahan ketimbang menyerang duluan. Lebih sering disudutkan, lebih sering jadi pesakitan ketimbang menjadi penyerang yang menyabetkan pedang ke segala penjuru untuk mencari mangsa. Jika pendukung Jokowi itu ofensif, niscaya mereka menguasasi percakapan, menyetir percakapan dengan terorganisir secara rapi. Buktinya sejak menang di Pilpres 2019, pendukung Jokowi sudah kembali ke habitatnya sebagai wong biasa.

Kegaduhan di media sosial tidak akan pernah menemukan terminal akhirnya. Kegaduhan yang tidak pernah ada akhirnya itu lantaran tidak jelas benar mana pokok mana cabang. Kegaduhan satu belum selesai sudah ditumpuki topik lain yang tidak kalah meriah.

Harapan satu-satunya adalah terletak pada kebijakan pemerintah yang lebih baik. Media sosial juga harus lebih banyak memberi masukan yang konstruktif. Dan media massa membeberkan fakta tanpa harus click bait, memukul dengan berita supaya narasumber takluk lalu dirangkul untuk berdamai. 

Demokrasi kita harus menuju kematangan, stabilitas bukan malah turun kelas menjadi kekanak-kanakan dan membuat kehidupan berbangsa menjadi limbung. Media massa dan media sosial punya tanggung jawab itu semua.

 

Penulis : fadhilah

Sumber : Kompas TV


TERBARU