Membaca Peta Media Sosial Pendukung Jokowi vs Kampanye Hitam
Opini | 4 Juli 2020, 11:12 WIBBagaimana mungkin, Indonesia di bawah Pemerintahan Jokowi dianggap otoriter sementara Presidennya diserang terus bahkan hampir tiap hari menjadi trending topics. Serangan-serangan yang dilakukan terhadap Presiden banyak menggunakan kata-kata yang sangat kasar dan tidak pantas.
Sublim Politik di Media Sosial
Data dashboard Mediawave menunjukkan pada November 2018 kelompok pembenci Jokowi menggaungkan tagar #2019GantiPresiden. Lalu pada data April 2020 kelompok ini menyublim kekuatannya dengan tagar #ImpeachmentJokowi dan tagar #MakzulkanJKWBubarkanPDIP. Ada persamaan kekuatan kelompok netizen, baik dari akun-akun yang digunakan, pola narasi, orkestrasi, diksi yang dipakai dan pola mobilisasinya yang menunjukkan kesamaan kelompok.
Kelompok ini kalau mau diidentifikasi berasal dari unsur veteran relawan Anies Sandi di Pilgub DKI Jakarta saat bertarung melawan Ahok-Djarot, barisan tiga angka cantik yang mendadak jadi fanboy orde baru, suka mengagungkan ke-pribumi-an dan berlaku rasis, dikit-dikit menuduh PKI, suka berteriak asing dan aseng, kerap menggunakan jargon NKRI Bersyariah sebagai penghalusan khilafah dan yang terakhir kelompok HTI yang dibubarkan pemerintah Republik Indonesia dan dilarang di berbagai negara.
Terlihat jelas ini adalah pergerakan kelompok sakit hati. Saat figur Prabowo yang dianggap menjadi figur pemersatu untuk mengalahkan Jokowi memilih merapat sebagai bagian pemerintahan Jokowi, kelompok ini mengonsolidasikan kekuatannya mencari figur baru untuk diadu dengan Jokowi. Sosok baru itu adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Operasi politik di jagad media sosial yang mereka lakukan adalah mendelegitimasi Jokowi sembari menaikkan Anies. Mendeligitimasi Jokowi meliputi menghabisi kekuatan pendukung Jokowi, baik partai, ormas, relawan maupun figur, tokoh influencer , selebriti bahkan netizen biasa.
Adakah yang salah bila pendukung Jokowi mengonsolidasikan dan melawan kelompok pembenci Jokowi di media sosial? Kalau ada yang menganggap relawan media sosial Jokowi tidak boleh bersuara, dan harus dibungkam, itu sih kebangetan. Ada juga yang minta pendukung Jokowi di media sosial ditertibkan.
Bukankah yang paling sering bikin gaduh, melakukan serangan secara membabi buta (kasihan babinya), adalah barisan sakit hati yang kalah di Pilpres dan tidak terima Prabowo duduk di gerbong yang sama dengan Jokowi? Lebih-lebih lagi melihat Sandiaga Uno menjadi Ketua Relawan Indonesia Lawan Covid-19
Pendukung Jokowi itu lebih banyak bertahan ketimbang menyerang duluan. Lebih sering disudutkan, lebih sering jadi pesakitan ketimbang menjadi penyerang yang menyabetkan pedang ke segala penjuru untuk mencari mangsa. Jika pendukung Jokowi itu ofensif, niscaya mereka menguasasi percakapan, menyetir percakapan dengan terorganisir secara rapi. Buktinya sejak menang di Pilpres 2019, pendukung Jokowi sudah kembali ke habitatnya sebagai wong biasa.
Kegaduhan di media sosial tidak akan pernah menemukan terminal akhirnya. Kegaduhan yang tidak pernah ada akhirnya itu lantaran tidak jelas benar mana pokok mana cabang. Kegaduhan satu belum selesai sudah ditumpuki topik lain yang tidak kalah meriah.
Harapan satu-satunya adalah terletak pada kebijakan pemerintah yang lebih baik. Media sosial juga harus lebih banyak memberi masukan yang konstruktif. Dan media massa membeberkan fakta tanpa harus click bait, memukul dengan berita supaya narasumber takluk lalu dirangkul untuk berdamai.
Demokrasi kita harus menuju kematangan, stabilitas bukan malah turun kelas menjadi kekanak-kanakan dan membuat kehidupan berbangsa menjadi limbung. Media massa dan media sosial punya tanggung jawab itu semua.
Penulis : fadhilah
Sumber : Kompas TV