Mengapa Kamala Harris Kalah dari Donald Trump di Pilpres AS 2024?
Opini | 8 November 2024, 19:32 WIBOleh: Julius Sumant, Senior Producer/Jurnalis KompasTV
Sehari setelah pemungutan suara ketika penghitungan suara masih berlangsung, calon presiden dari Partai Demokrat Kamala Harris memberikan pidato pengakuan atas kemenangan calon presiden Donald Trump yang diusung Partai Republik. Kubu tim kampanye Donald Trump pun sudah menerima undangan dari Gedung Putih untuk membicarakan transisi kepresidenan dari Joe Biden.
Pidato pengakuan yang biasa menjadi tradisi dalam transisi presidensial di Amerika Serikat diberikan Kamala Harris setelah perhitungan suara oleh sejumlah media menunjukkan selisih perolehan yang semakin melebar.
Hingga Rabu petang waktu timur Amerika Serikat, atau Kamis pagi waktu Indonesia bagian barat, perhitungan oleh Associated Press mencatatkan keunggulan Trump dengan 295 suara elektoral dan Harris yang tertinggal jauh dengan 226 suara elektoral. Trump juga unggul sekitar 5 juta suara dibanding harris dari sisi jumlah suara popular nasional.
Ada sejumlah analisa untuk menjelaskan mengapa Kamala Harris kalah dukungan dari Donald Trump setelah kampanye selama tiga bulan terakhir penuh dengan perang retorika.
Bayang-Bayang Joe Biden
Salah satu faktor yang disebut-sebut berkontribusi besar pada kekalahan Harris adalah kesulitannya untuk keluar dari bayang-bayang Presiden Joe Biden di mana ia menjadi wakil presidennya.
Baca Juga: Diproyeksikan Menang Pilpres AS 2024, Donald Trump Serukan Persatuan
Lembaga polling Five Thirty Eight merekam “approval rating" Biden selalu jeblok di bawah leveI “diapproval rating" pada setahun pemerintahannya.Saat Biden mundur dari pencapresan Partai Demokrat dan memberi jalan Harris maju pencapresan pada pertengahan Juli 2024, “approval rating" Biden jeblok di kisaran 38 persen dan “disapproval rating” sekitar 56 persen.
Hingga sehari sebelum pemungutan suara Harris melawan Trump, tingkat ketidakpopuleran Biden tak beranjak dengan selisih “approval rating" dan “disapproval rating” tetap ada di kisaran minus 17 poin. Tak bisa disangkal, Harris dalam perannya sebagai wakil presiden sulit menjaga jarak dan membedakan dirinya dengan Presiden Biden.Akibatnya, pemilih mengidentifikasi Harris sebagai tak lebih sebagai orangnya Biden yang tidak populer.
Masa Kampanye Harris Pendek
Sejak Presiden Biden memutuskan mundur dari pencapresan dan mendorong wakil presiden Kamala Harris maju pilpres pada 21 Juli 2024, praktis Harris hanya punya waktu kurang dari 4 bulan untuk berkampanye melawan Donald Trump.
Kontras dengan Trump yang sudah punya jam terbang tinggi. Trump berpengalaman 4 tahun sebagai presiden ke-45 dan berpengalaman menghadapi capres Demokrat waktu itu, Hillary Clinton. Trump juga membuktikan diri mampu membangun kembali basis kekuatan politiknya meski 4 tahun sudah keluar Gedung Putih setelah dikalahkan Joe Biden.
Awal tahun ini ia berhasil mendapatkan tiket pencapresan Partai Republik setelah pesaing utamanya,Gubernur Florida Ron DeSantis, mundur dari pencapresan dan justru berbalik mendukung pencapresannya.
Menarik ke belakang, majunya Trump sejak konvensi Partai Republik dan begitu banyaknya masalah hukum yang dihadapinya sejak keluar Gedung Putih 4 tahun lalu tampak begitu meyakinkan publik dibanding relatif begitu mudahnya Kamala Harris mendapatkan tiket pencapresan dari Partai Demokrat. Trump berhasil mempersonifikasi dirinya sebagai seorang capres yang kompeten, sementara Harris tampak kesulitan membangun citra diri.
Retorika vs Masalah Migran dan Ekonomi
Kelemahan lain dari Harris yakni dalam masa kampanye yang singkat ia terjebak dalam perang retorika dengan Trump di media namun di sisi lain kurang bisa memberi penjelasan mengenai rencana-rencana kebijakannya sebagai capres.
Pendeknya, Harris terlalu sibuk meyakinkan publik bahwa Trump bukan kandidat capres yang cocok bagi Amerika, tapi ia sendiri tidak cukup meyakinkan publik sebagai kandidat capres yang kompeten.
Dalam ingatan publik, Harris terlalu berkutat misalnya pada isu kebebasan reproduksi atau aborsi namun kurang menjawab pada permasalahan nasional yang jadi “top of mind” masyarakat seperti masalah migran, inflasi ekonomi dan perang.Masalah migran menjadi masalah nyata karena sebagian warga menganggap sulitnya mendapatkan pekerjaan atau upah buruh yang rendah akibat membludaknya imigran.
Baca Juga: Hasil Pilpres AS 2024: Trump Menang di Georgia, Semakin Dekat untuk Kembali ke Gedung Putih
Dalam sebuah wawancara di CBS News Oktober lalu, Harris tampak defensif saat ditanya mengenai kebijakan Presiden Biden yang melonggarkan pembatasan perbatasan namun di tahun ketiga pemerintahannya menerapkan kontrol perbatasan ketat seperti yang diinisiasi Presiden Trump di periode pertama kepresidenannya.
Ditanya apakah perubahan kebijakan itu sebuah kesalahan, Harris menjawab normatif bahwa kebijakan diambil untuk menyelesaikan masalah, bukan mempromosikan masalah.
Di sektor ekonomi, warga juga banyak yang menilai kondisi perekonomian sedang bermasalah meski tingkat inflasi di masa Presiden Biden yang sempat berada di atas 9 persen turun menjadi 2,5 persen. Harga kebutuhan dan biaya hidup terlanjur naik.
Exit poll ABC News usai pemungutan suara menunjukkan ketidakpuasan ekonomi menjadi salah satu alasan pembeda utama pemilih dalam memilih Trump ketimbang Harris. 45 persen responden menyatakan kondisi ekonomi saat ini di bawah Presiden Biden memburuk.Berbanding lebih buruk daripada kondisi ekonomi di awal resesi besar tahun 2008 sebesar 42 persen.
Exit poll Fortune juga menunjukkan keterbelahan soal isu ekonomi yang tidak menguntungkan Harris. Sebanyak 67 persen pemilih menyatakan kondisi ekonomi saat ini tidak baik atau buruk dan hanya 32 persen pemilih yang menyatakan kondisi ekonomi saat ini sangat baik atau bagus.
“Swing States” Kunci Kemenangan Trump
Kemenangan Trump telak atas Harris utamanya disumbang oleh perebutan suara sengit di 7 negara bagian. Kunci kemenangan Trump ada di 3 negara bagian yang masuk dalam kelompok “the blue wall” dan “Sun Belt” yakni Georgia, North Carolina dan Pennsylvania.
Menurut laporan, Trump juga memimpin di 4 negara bagian kunci lainnya yakni Michigan, Wisconsin, Arizona dan Nevada. Sebagai perbandingan, Joe Biden mengalahkan Trump pada Pilpres 2020 dengan memenangi seluruh wilayah kunci ini kecuali North Carolina.
Suksesnya Donald Trump memenangi pilpres kali ini menjadikannya presiden ke-45dan ke-47 AS. Trump menjadi presiden kedua dalam sejarah Amerika yang mencatatkan rekor menduduki jabatan presiden dalam dua masa jabatan terpisah atau nonkonsekutif,yakni mengulang langkah presiden ke-22 dan ke-24 Grover Cleveland lebih dari seabad silam.
Penulis : Redaksi Kompas TV Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV