> >

Demokrasi yang Direkayasa

Opini | 27 Agustus 2024, 12:55 WIB
Sebuah mural bertema demokrasi menghiasi tembok Kantor Komisi Pemilihan Umum Kota Solo, Jawa Tengah, 13 Oktober 2017. (Sumber: P Raditya Mahendra Yasa/Kompas.id)

Oleh: Abie Besman, Jurnalis Kompas TV dan Pengajar di Universitas Padjadjaran

KOMPAS.TV - Demokrasi adalah konsep yang seharusnya mencerminkan keadilan dan kedaulatan rakyat, di mana setiap individu memiliki hak yang sama dalam menentukan nasib bangsa.

Namun, kenyataan sering kali bertolak belakang dari idealisme ini. 

Baca Juga: Koalisi Organisasi Pers Sebut Harus Jaga Demokrasi dari Krisis Konstitusi dan Ancaman Oligarki

Dalam banyak kasus, demokrasi telah direkayasa oleh sekelompok kecil elite politik yang bertujuan mempertahankan kekuasaan dan memperkaya diri. 

Di balik tirai demokrasi yang tampak sah, tersembunyi praktik-praktik manipulatif yang merampas hak rakyat untuk memilih pemimpin yang sejati. 

Ketika demokrasi dikendalikan oleh segelintir orang yang lihai, kita melihat bagaimana sifat dasar manusia sebagai "homo homini lupus"—manusia adalah serigala bagi sesamanya—terungkap dalam dunia politik, yang dibingkai oleh kecerdikan ala Il Principe.

Homo Homini Lupus: Serigala dalam Politik
Ungkapan homo homini lupus pertama kali diutarakan oleh filsuf Romawi Plautus, yang kemudian populer dalam tulisan Thomas Hobbes. 
Maknanya, "manusia adalah serigala bagi sesamanya," mengacu pada sifat dasar manusia yang cenderung bersaing, berkonflik, dan saling memakan untuk bertahan hidup. 

Dalam konteks politik modern, ungkapan ini mengilustrasikan realitas pahit di mana individu atau kelompok tertentu mengorbankan orang lain demi mencapai ambisi pribadi mereka.

Dalam demokrasi yang telah direkayasa, sifat serigala ini tampak jelas. Para elite politik menggunakan berbagai cara untuk menghilangkan hak persaingan, merekayasa calon pemimpin, dan memastikan bahwa kekuasaan tetap berada di tangan mereka. 

Dengan menggunakan kekuasaan yang ada, mereka menciptakan situasi di mana rakyat kehilangan pilihan yang sejati. 

Calon-calon pemimpin yang muncul dalam pemilu bukanlah pilihan terbaik dari rakyat, tetapi figur-figur yang telah diatur oleh kroni politik dan elite yang berkuasa. 

Mereka memastikan, siapapun yang terpilih tidak akan mengancam posisi dan kepentingan mereka, seolah-olah proses demokrasi hanyalah sebuah sandiwara yang telah diskenariokan.

Il Principe: Seni Mengendalikan Kekuasaan
Dalam karyanya yang terkenal, Il Principe, Niccolò Machiavelli menyampaikan, bagaimana seorang pemimpin harus bersikap untuk mempertahankan kekuasaannya. 

Machiavelli menggambarkan seorang penguasa ideal sebagai sosok yang licik, cerdik, dan siap melakukan apa saja, termasuk tindakan-tindakan yang tidak bermoral untuk menjaga kekuasaan.

Bagi Machiavelli, hasil yang diinginkan (yakni, kestabilan dan kekuasaan) dapat membenarkan cara-cara yang digunakan, bahkan jika cara-cara tersebut bertentangan dengan moralitas umum.

Dalam demokrasi yang direkayasa, para elite politik berperilaku seperti "Il Principe." 

Mereka menggunakan berbagai taktik, mulai dari manipulasi media, intimidasi, hingga penyebaran propaganda untuk memastikan bahwa kekuasaan tetap berada di tangan mereka. 

Manipulasi demokrasi ini tidak hanya menguntungkan mereka yang berkuasa, tetapi juga menghancurkan prinsip-prinsip dasar demokrasi itu sendiri. 

Ketika segala cara dianggap sah untuk mencapai tujuan, demokrasi kehilangan integritasnya dan berubah menjadi alat untuk melanggengkan dominasi kelompok tertentu.

Baca Juga: Kecam DPR yang Membangkangi Konstitusi, GUSDURian Galang Dukungan Penyelamatan Demokrasi

Manipulasi Demokrasi: Menghilangkan Hak Persaingan
Salah satu aspek paling mencolok dari demokrasi yang direkayasa adalah hilangnya hak persaingan yang adil. 

Di banyak negara, pemilu yang seharusnya menjadi ajang persaingan ide dan program untuk kesejahteraan rakyat berubah menjadi ajang kekuatan politik untuk mendiskreditkan lawan-lawan mereka. 

Elite politik yang berkuasa menggunakan segala cara untuk memastikan bahwa hanya calon yang mereka dukung yang memiliki peluang nyata untuk menang. 

Ini bisa dilakukan melalui regulasi yang diskriminatif, penyalahgunaan kekuasaan, dan bahkan manipulasi sistem pemilu itu sendiri.

Proses ini sering kali melibatkan pengendalian akses terhadap sumber daya dan media. 

Media, yang seharusnya berperan sebagai pengawas yang netral, sering kali digunakan sebagai alat propaganda untuk mendukung narasi yang menguntungkan penguasa. 

Dalam situasi ini, rakyat hanya diberikan pilihan yang terbatas, di mana semua calon yang ada sebenarnya mewakili kepentingan yang sama. 

Pemilu tidak lagi menjadi wadah untuk mengekspresikan kehendak rakyat, melainkan sekadar formalitas untuk memberikan legitimasi pada kekuasaan yang telah dikendalikan.

Kroni Politik dan Konsolidasi Kekuasaan
Manipulasi demokrasi ini tidak akan berhasil tanpa dukungan dari jaringan kroni politik yang kuat. 

Kroni politik adalah sekelompok kecil orang yang memiliki akses langsung ke pusat kekuasaan dan berkolusi untuk mempertahankan posisi mereka. 

Mereka sering kali terdiri dari para pengusaha kaya, pejabat militer, dan politisi yang berpengaruh. 

Dalam demokrasi yang telah direkayasa, kroni politik ini memainkan peran penting dalam memastikan bahwa kekuasaan tetap berada di tangan mereka dan bahwa siapapun yang berusaha mengganggu status quo akan disingkirkan.

Proses konsolidasi kekuasaan ini sering kali disertai dengan praktik-praktik korupsi yang merajalela. 

Para kroni politik menggunakan kekuasaan mereka untuk memperkaya diri, sering kali dengan mengorbankan kepentingan publik. 

Mereka memastikan bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah sesuai dengan kepentingan mereka, bukan kepentingan rakyat. 

Dalam kondisi seperti ini, demokrasi kehilangan maknanya sebagai sistem yang melayani kepentingan umum dan berubah menjadi alat untuk memperkaya dan melindungi segelintir orang.

Filsafat komunikasi memberi kita pandangan yang dalam tentang bagaimana manusia sebagai "homo homini lupus" berperan dalam politik, terutama dalam konteks demokrasi yang direkayasa. 

Dalam lingkungan politik yang penuh intrik dan persaingan brutal, sifat dasar manusia sebagai serigala muncul dengan jelas. 

Mereka yang memiliki kekuasaan tidak ragu untuk mengorbankan orang lain demi mencapai tujuan mereka. 

Demokrasi, yang seharusnya menjadi alat untuk memastikan keadilan sosial, seringkali menjadi arena di mana serigala-serigala ini saling memangsa.

Tantangan untuk Mewujudkan Demokrasi Sejati
Mewujudkan demokrasi yang sejati adalah tantangan besar di tengah situasi di mana demokrasi telah direkayasa oleh segelintir orang yang berkuasa. 

Untuk melawan manipulasi ini, kita perlu memperkuat institusi demokrasi, mendorong transparansi, dan memastikan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk bersaing dalam pemilihan. 

Baca Juga: Maarif Institute Tegaskan Penolakan terhadap Pembegalan Pancasila dan Demokrasi

Kita juga perlu membangun kesadaran kritis di kalangan masyarakat, agar mereka dapat mengenali dan menolak upaya-upaya untuk mengendalikan demokrasi demi kepentingan pribadi dan golongan.

Ketika kita memahami bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya, dan bahwa kekuasaan sering kali dijalankan dengan prinsip-prinsip Machiavellian, kita dapat lebih waspada terhadap bahaya yang mengintai di balik tirai demokrasi. 

Hanya dengan menghadapi kenyataan ini secara langsung, kita dapat bekerja menuju demokrasi yang benar-benar mewakili dan melayani kepentingan semua rakyat, bukan hanya segelintir elite yang berkuasa.

Penulis : Redaksi-Kompas-TV

Sumber : Kompas TV


TERBARU