> >

Demokrasi yang Direkayasa

Opini | 27 Agustus 2024, 12:55 WIB
Sebuah mural bertema demokrasi menghiasi tembok Kantor Komisi Pemilihan Umum Kota Solo, Jawa Tengah, 13 Oktober 2017. (Sumber: P Raditya Mahendra Yasa/Kompas.id)

Elite politik yang berkuasa menggunakan segala cara untuk memastikan bahwa hanya calon yang mereka dukung yang memiliki peluang nyata untuk menang. 

Ini bisa dilakukan melalui regulasi yang diskriminatif, penyalahgunaan kekuasaan, dan bahkan manipulasi sistem pemilu itu sendiri.

Proses ini sering kali melibatkan pengendalian akses terhadap sumber daya dan media. 

Media, yang seharusnya berperan sebagai pengawas yang netral, sering kali digunakan sebagai alat propaganda untuk mendukung narasi yang menguntungkan penguasa. 

Dalam situasi ini, rakyat hanya diberikan pilihan yang terbatas, di mana semua calon yang ada sebenarnya mewakili kepentingan yang sama. 

Pemilu tidak lagi menjadi wadah untuk mengekspresikan kehendak rakyat, melainkan sekadar formalitas untuk memberikan legitimasi pada kekuasaan yang telah dikendalikan.

Kroni Politik dan Konsolidasi Kekuasaan
Manipulasi demokrasi ini tidak akan berhasil tanpa dukungan dari jaringan kroni politik yang kuat. 

Kroni politik adalah sekelompok kecil orang yang memiliki akses langsung ke pusat kekuasaan dan berkolusi untuk mempertahankan posisi mereka. 

Mereka sering kali terdiri dari para pengusaha kaya, pejabat militer, dan politisi yang berpengaruh. 

Dalam demokrasi yang telah direkayasa, kroni politik ini memainkan peran penting dalam memastikan bahwa kekuasaan tetap berada di tangan mereka dan bahwa siapapun yang berusaha mengganggu status quo akan disingkirkan.

Proses konsolidasi kekuasaan ini sering kali disertai dengan praktik-praktik korupsi yang merajalela. 

Para kroni politik menggunakan kekuasaan mereka untuk memperkaya diri, sering kali dengan mengorbankan kepentingan publik. 

Mereka memastikan bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah sesuai dengan kepentingan mereka, bukan kepentingan rakyat. 

Dalam kondisi seperti ini, demokrasi kehilangan maknanya sebagai sistem yang melayani kepentingan umum dan berubah menjadi alat untuk memperkaya dan melindungi segelintir orang.

Filsafat komunikasi memberi kita pandangan yang dalam tentang bagaimana manusia sebagai "homo homini lupus" berperan dalam politik, terutama dalam konteks demokrasi yang direkayasa. 

Dalam lingkungan politik yang penuh intrik dan persaingan brutal, sifat dasar manusia sebagai serigala muncul dengan jelas. 

Mereka yang memiliki kekuasaan tidak ragu untuk mengorbankan orang lain demi mencapai tujuan mereka. 

Demokrasi, yang seharusnya menjadi alat untuk memastikan keadilan sosial, seringkali menjadi arena di mana serigala-serigala ini saling memangsa.

Tantangan untuk Mewujudkan Demokrasi Sejati
Mewujudkan demokrasi yang sejati adalah tantangan besar di tengah situasi di mana demokrasi telah direkayasa oleh segelintir orang yang berkuasa. 

Untuk melawan manipulasi ini, kita perlu memperkuat institusi demokrasi, mendorong transparansi, dan memastikan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk bersaing dalam pemilihan. 

Baca Juga: Maarif Institute Tegaskan Penolakan terhadap Pembegalan Pancasila dan Demokrasi

Kita juga perlu membangun kesadaran kritis di kalangan masyarakat, agar mereka dapat mengenali dan menolak upaya-upaya untuk mengendalikan demokrasi demi kepentingan pribadi dan golongan.

Ketika kita memahami bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya, dan bahwa kekuasaan sering kali dijalankan dengan prinsip-prinsip Machiavellian, kita dapat lebih waspada terhadap bahaya yang mengintai di balik tirai demokrasi. 

Hanya dengan menghadapi kenyataan ini secara langsung, kita dapat bekerja menuju demokrasi yang benar-benar mewakili dan melayani kepentingan semua rakyat, bukan hanya segelintir elite yang berkuasa.

Penulis : Redaksi-Kompas-TV

Sumber : Kompas TV


TERBARU