> >

Merdeka tapi Tak Merdeka, Merdeka!

Opini | 17 Agustus 2024, 12:00 WIB
Ilustrasi: kemerdekaan terbelenggu. (Sumber: OpenAI)

Oleh: Abie Besman, Jurnalis Senior Kompas TV

Setiap tanggal 17 Agustus, bangsa Indonesia merayakan hari kemerdekaannya dengan gegap gempita. Dari Sabang hingga Merauke, dari lapangan-lapangan kota besar hingga pelosok desa, kita menyaksikan kibaran bendera merah putih, upacara bendera, lomba-lomba rakyat, dan berbagai acara seremonial lainnya.

Kemerdekaan seolah telah menjadi sebuah ritual tahunan yang tak bisa dilewatkan, seakan-akan setiap orang benar-benar merasakan makna di balik kata "merdeka."

Namun, apakah kita benar-benar merdeka? Atau ini hanya ilusi yang diciptakan agar kita merasa puas dengan keadaan yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan zaman penjajahan?

Mari kita mulai dengan memeriksa apa arti kemerdekaan sesungguhnya. Dalam konteks sejarah, kemerdekaan berarti bebas dari penjajahan, bebas dari kekuasaan asing yang menindas, menguasai, dan mengeksploitasi bangsa kita.

Sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, secara resmi kita telah bebas dari kekuasaan kolonial Belanda. Namun, apakah kemerdekaan itu hanya berarti bebas dari penjajahan fisik, atau ada dimensi lain yang seharusnya kita capai?

Baca Juga: Influencer dan Demokrasi Langsung: Sebuah Kritik

Kemerdekaan Ekonomi: Bebas dari Ketergantungan?

Ketika kita membahas tentang kemerdekaan ekonomi, perlu dipertanyakan sejauh mana Indonesia benar-benar bebas? Setiap tahun, kita mendengar tentang pertumbuhan ekonomi, penurunan angka kemiskinan, dan kemajuan infrastruktur.

Namun, di balik data yang tampak impresif ini, ada kenyataan yang tidak bisa diabaikan. Ketergantungan kita pada investasi asing, utang luar negeri, dan dominasi perusahaan multinasional masih sangat kuat. Apakah ini yang kita maksud dengan kemerdekaan?

Kita merayakan hari kemerdekaan dengan penuh kebanggaan, tetapi ironisnya, ketergantungan pada perusahaan asing dalam mengeksploitasi sumber daya alam kita masih besar.

Meskipun ini bisa dimaklumi mengingat sistem ekonomi yang ada, tetap saja ini bukanlah hal yang ideal, terutama ketika relasi kekuasaan antara negara-negara besar terasa begitu dominan terhadap kita.

Sumber daya seperti gas, minyak, emas, dan tambang lainnya masih banyak yang dikuasai oleh perusahaan asing, baik dalam hal kepemilikan maupun teknologi.

Kita harus berhati-hati agar kekayaan kita tidak dieksploitasi dengan pembagian yang tidak adil, sementara rakyat Indonesia hanya menerima sedikit dari hasil sumber daya alam yang sejatinya milik kita.

Bukankah ini seperti pepatah "Sudah jatuh tertimpa tangga," di mana setelah bebas dari penjajahan fisik, kita sekarang menghadapi penjajahan ekonomi?

Dan bagaimana dengan utang luar negeri kita? Utang yang terus menumpuk, meskipun disertai berbagai janji dan penjelasan, tetaplah utang yang harus dibayar. Utang ini harus dikelola dengan baik agar beban bunga dan cicilan tidak jatuh pada rakyat kecil.

Belum lagi inflasi yang terus mengancam, memicu kenaikan harga kebutuhan pokok, dan memperlebar jurang ketimpangan ekonomi antara kaya dan miskin. Jadi, apa arti kemerdekaan jika kita masih menjadi ‘budak’ di negeri sendiri?

Kemerdekaan Politik: Sekadar Formalitas?

Banyak yang bilang, di era demokrasi ini, kita memiliki kebebasan politik yang tidak ternilai harganya. Kita bisa memilih pemimpin kita, menyuarakan pendapat, bahkan melakukan protes tanpa takut diancam oleh pemerintah. Tapi benarkah begitu? Seberapa merdeka kita dalam hal politik?

Pilkada, pemilu, pemilihan presiden—semua menjadi pesta demokrasi yang tampak meriah. Namun, apakah suara kita benar-benar menentukan masa depan bangsa ini, atau hanya menjadi formalitas belaka?

Di balik layar, ada kekuatan-kekuatan besar yang menggerakkan roda politik, mulai dari oligarki, korporasi, hingga kepentingan asing. Siapakah yang sebenarnya memegang kendali? Rakyat atau segelintir elite yang duduk nyaman di kursi kekuasaan?

Ketika pemimpin terpilih lebih sibuk mengurus kepentingan pribadi dan kelompoknya daripada melayani rakyat, ketika janji-janji kampanye tinggal menjadi kenangan manis, apakah ini yang disebut dengan kemerdekaan politik? Ketika suara-suara kritis dibungkam, media massa dibatasi, dan hukum dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan, apa bedanya ini dengan zaman kolonial?

Baca Juga: Detik-Detik Dentuman Meriam Perdana di IKN dan Pembacaan Teks Proklamasi HUT ke-79 RI

Kemerdekaan Budaya: Penjajahan yang Halus

Jika kemerdekaan berarti bebas mengekspresikan diri dan budaya kita, lalu mengapa kita begitu terobsesi dengan budaya luar? Dari gaya berpakaian, makanan, hingga cara berpikir—banyak dari kita yang lebih memilih untuk mengadopsi budaya asing daripada menjaga dan mengembangkan budaya asli Indonesia.

Kita merayakan Hari Kemerdekaan dengan upacara bendera dan lomba-lomba tradisional, tapi di hari-hari lain, berapa banyak dari kita yang benar-benar peduli dengan budaya lokal?

Kita lebih bangga menggunakan produk luar negeri daripada produk dalam negeri. Kita lebih memilih film Hollywood daripada film Indonesia. Kita lebih senang menghabiskan waktu di kafe-kafe dengan konsep barat daripada menikmati warung kopi tradisional. Bukankah ini bentuk penjajahan yang paling halus—penjajahan mental dan budaya?

Budaya lokal seolah tersingkir oleh derasnya arus globalisasi yang datang tanpa filter. Di kota-kota besar, sulit sekali menemukan anak muda yang benar-benar memahami dan menghargai budaya tradisionalnya sendiri. Padahal, budaya adalah identitas kita, yang seharusnya menjadi sumber kebanggaan dan kekuatan.

Namun, kenyataannya, kita lebih bangga dengan apa yang datang dari luar negeri daripada apa yang kita miliki sendiri. Ini bukanlah kemerdekaan, ini adalah bentuk lain dari penjajahan yang masih berlangsung hingga hari ini.

Kemerdekaan Sosial: Sekadar Slogan?

Banyak yang bilang, Indonesia adalah bangsa yang merdeka secara sosial—semua orang memiliki hak yang sama, bebas dari diskriminasi, dan hidup dalam harmoni. Tapi benarkah demikian?

Realitanya, kita masih melihat berbagai bentuk diskriminasi, baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi. Diskriminasi terhadap suku, agama, ras, dan golongan masih menjadi masalah besar yang tak kunjung selesai.

Setiap kali terjadi kerusuhan antar etnis atau konflik agama, kita diingatkan bahwa retorika "Bhinneka Tunggal Ika" masih jauh dari kenyataan. Apakah ini yang kita maksud dengan kemerdekaan?

Tak hanya itu, ketidakadilan sosial juga masih menjadi momok di masyarakat. Kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin melebar, dan akses terhadap pendidikan, kesehatan, serta kesempatan kerja masih sangat tergantung pada latar belakang sosial ekonomi seseorang.

Sementara itu, program-program pemerintah yang seharusnya membantu masyarakat justru seringkali salah sasaran atau disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Jadi, di mana letak kemerdekaan sosial yang kita banggakan?

Merdeka, tapi Tidak Merdeka

Dari semua ini, kita bisa bertanya: apa sebenarnya arti kemerdekaan di Indonesia? Apakah kita benar-benar merdeka, atau hanya terjebak dalam ilusi yang diciptakan oleh retorika dan upacara tahunan?

Indonesia memang telah merdeka secara fisik dari penjajahan kolonial, tetapi dalam banyak aspek lain, kita masih terjebak dalam bentuk-bentuk penjajahan baru. Penjajahan ekonomi, politik, budaya, dan sosial yang lebih halus namun tak kalah merugikan.

Baca Juga: Jokowi Berikan Tepuk Tangan pada Paskibraka Usai Kibarkan Bendera Merah Putih di IKN

Kita bangga dengan kemerdekaan yang kita peroleh 79 tahun yang lalu, namun lupa bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya soal bebas dari penjajahan fisik, melainkan juga berarti bebas dari segala bentuk penindasan dan ketidakadilan dalam segala aspek kehidupan.

Jadi, ketika kita berdiri tegap di bawah kibaran bendera merah putih, mari kita renungkan kembali—apakah kita benar-benar merdeka? Atau kita masih terjebak dalam bentuk-bentuk penjajahan modern yang justru lebih sulit dikenali dan dilawan?

Jika jawabannya adalah yang kedua, maka mungkin sudah saatnya kita mulai memaknai ulang apa itu kemerdekaan dan bagaimana kita bisa mencapainya secara penuh.

Dengan demikian, merayakan kemerdekaan bukan hanya sekadar mengenang masa lalu, tetapi juga sebuah panggilan untuk terus berjuang, bukan melawan penjajah dari luar, melainkan melawan segala bentuk penjajahan dari dalam diri kita sendiri dan sistem yang kita bangun bersama. Merdeka!

Penulis : Redaksi-Kompas-TV

Sumber : Kompas TV


TERBARU