> >

Merdeka tapi Tak Merdeka, Merdeka!

Opini | 17 Agustus 2024, 12:00 WIB
Ilustrasi: kemerdekaan terbelenggu. (Sumber: OpenAI)

Ketika pemimpin terpilih lebih sibuk mengurus kepentingan pribadi dan kelompoknya daripada melayani rakyat, ketika janji-janji kampanye tinggal menjadi kenangan manis, apakah ini yang disebut dengan kemerdekaan politik? Ketika suara-suara kritis dibungkam, media massa dibatasi, dan hukum dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan, apa bedanya ini dengan zaman kolonial?

Baca Juga: Detik-Detik Dentuman Meriam Perdana di IKN dan Pembacaan Teks Proklamasi HUT ke-79 RI

Kemerdekaan Budaya: Penjajahan yang Halus

Jika kemerdekaan berarti bebas mengekspresikan diri dan budaya kita, lalu mengapa kita begitu terobsesi dengan budaya luar? Dari gaya berpakaian, makanan, hingga cara berpikir—banyak dari kita yang lebih memilih untuk mengadopsi budaya asing daripada menjaga dan mengembangkan budaya asli Indonesia.

Kita merayakan Hari Kemerdekaan dengan upacara bendera dan lomba-lomba tradisional, tapi di hari-hari lain, berapa banyak dari kita yang benar-benar peduli dengan budaya lokal?

Kita lebih bangga menggunakan produk luar negeri daripada produk dalam negeri. Kita lebih memilih film Hollywood daripada film Indonesia. Kita lebih senang menghabiskan waktu di kafe-kafe dengan konsep barat daripada menikmati warung kopi tradisional. Bukankah ini bentuk penjajahan yang paling halus—penjajahan mental dan budaya?

Budaya lokal seolah tersingkir oleh derasnya arus globalisasi yang datang tanpa filter. Di kota-kota besar, sulit sekali menemukan anak muda yang benar-benar memahami dan menghargai budaya tradisionalnya sendiri. Padahal, budaya adalah identitas kita, yang seharusnya menjadi sumber kebanggaan dan kekuatan.

Namun, kenyataannya, kita lebih bangga dengan apa yang datang dari luar negeri daripada apa yang kita miliki sendiri. Ini bukanlah kemerdekaan, ini adalah bentuk lain dari penjajahan yang masih berlangsung hingga hari ini.

Kemerdekaan Sosial: Sekadar Slogan?

Banyak yang bilang, Indonesia adalah bangsa yang merdeka secara sosial—semua orang memiliki hak yang sama, bebas dari diskriminasi, dan hidup dalam harmoni. Tapi benarkah demikian?

Realitanya, kita masih melihat berbagai bentuk diskriminasi, baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi. Diskriminasi terhadap suku, agama, ras, dan golongan masih menjadi masalah besar yang tak kunjung selesai.

Setiap kali terjadi kerusuhan antar etnis atau konflik agama, kita diingatkan bahwa retorika "Bhinneka Tunggal Ika" masih jauh dari kenyataan. Apakah ini yang kita maksud dengan kemerdekaan?

Tak hanya itu, ketidakadilan sosial juga masih menjadi momok di masyarakat. Kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin melebar, dan akses terhadap pendidikan, kesehatan, serta kesempatan kerja masih sangat tergantung pada latar belakang sosial ekonomi seseorang.

Sementara itu, program-program pemerintah yang seharusnya membantu masyarakat justru seringkali salah sasaran atau disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Jadi, di mana letak kemerdekaan sosial yang kita banggakan?

Merdeka, tapi Tidak Merdeka

Dari semua ini, kita bisa bertanya: apa sebenarnya arti kemerdekaan di Indonesia? Apakah kita benar-benar merdeka, atau hanya terjebak dalam ilusi yang diciptakan oleh retorika dan upacara tahunan?

Indonesia memang telah merdeka secara fisik dari penjajahan kolonial, tetapi dalam banyak aspek lain, kita masih terjebak dalam bentuk-bentuk penjajahan baru. Penjajahan ekonomi, politik, budaya, dan sosial yang lebih halus namun tak kalah merugikan.

Baca Juga: Jokowi Berikan Tepuk Tangan pada Paskibraka Usai Kibarkan Bendera Merah Putih di IKN

Kita bangga dengan kemerdekaan yang kita peroleh 79 tahun yang lalu, namun lupa bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya soal bebas dari penjajahan fisik, melainkan juga berarti bebas dari segala bentuk penindasan dan ketidakadilan dalam segala aspek kehidupan.

Jadi, ketika kita berdiri tegap di bawah kibaran bendera merah putih, mari kita renungkan kembali—apakah kita benar-benar merdeka? Atau kita masih terjebak dalam bentuk-bentuk penjajahan modern yang justru lebih sulit dikenali dan dilawan?

Jika jawabannya adalah yang kedua, maka mungkin sudah saatnya kita mulai memaknai ulang apa itu kemerdekaan dan bagaimana kita bisa mencapainya secara penuh.

Dengan demikian, merayakan kemerdekaan bukan hanya sekadar mengenang masa lalu, tetapi juga sebuah panggilan untuk terus berjuang, bukan melawan penjajah dari luar, melainkan melawan segala bentuk penjajahan dari dalam diri kita sendiri dan sistem yang kita bangun bersama. Merdeka!

Penulis : Redaksi-Kompas-TV

Sumber : Kompas TV


TERBARU