Acta Est Fabula
Opini | 10 November 2023, 00:30 WIBOleh: Trias Kuncahyono
YANG masih kami ingat dari pentas wayang kulit di Teatro Palladium Roma, beberapa waktu lalu adalah reaksi penonton setelah pagelaran selesai. Mereka memberikan apreasiasi tinggi yang membuat kami sangat berbagga memiliki budaya yang adiluhung itu.
Begitu “tancep kayon”–dalang menancapkan gunungan tegak lurus di tengah pakeliran (layar) pertanda pertunjukan wayang telah selesai–dan para niyaga mengakhiri “nabuh” gamelan, mereka bertepuk tangan.
Penonton bertepuk tangan riuh. Keras. Panjang. Mereka berdiri. Tidak hanya berdiri, tetapi lalu ramai-ramai naik ke panggung untuk melihat dari dekat wayang-wayang itu. Mereka memegangnya; mencoba memainkannya. Menabuh gamelan. Bertanya ini-itu tentang wayang. Dan, berfoto di depan kelir, layar; berfoto sambil memegang wayang.
“Lo specttacolo e arrivito alla fine,” kata mereka. Pentas sudah berakhir. Maka itu, applaudite! tepuk tanganlah. Wayangan dengan lakon “La Missione Di Anoman”, telah selesai.
***
Ucapan penonton itu mengingatkan pada ucapan senada yang disampaikan Kaisar Gaius Julius Caesar Octavianus atau Kaisar Octavianus (63 SM – 14 M), lebih dari 2000 tahun silam.
Kata sejarawan Romawi, Gaius Suetonius Tranquiĺlus (62 – 122) sebelum menghembuskan napas terakhir Octavianus mengatakan hal itu.
Oh iya, Octavianus yang memerintah 27 SM – 14 M adalah kaisar Romawi pertama, setelah berakhirnya Republik Romawi (509 – 27 SM). Republik Romawi dihancurkan oleh Julius Caesar yang kemudian menjadi penguasa tunggal Romawi, bahkan diktator. Caesar adalah paman buyut sekaligus ayah angkat Octavianus.
Setelah Caesar dibunuh Brutus dan kawan-kawannya (44 SM), muncullah triumvirat. Tindakan Brutus dan kawan-kawannya itulah memunculkan kisah pengkhianatan. Bahkan, Dante Alighieri dalam Inferno salah satu dari tiga bagian–dua lainnya adalah Purgatorio dan Paradiso–The Divine Comedy (La Divina Commedia atau La Commedia) bahkan menyebut mereka sebagai pengkhianat terbesar dalam sejarah manusia.
Kalau menurut versi Brutus dan kawan-kawannya, mereka bertindak atas nama negara; menyelamatkan negara dari ancaman diktator Caesar. Sebuah alasan klasik: “atas nama negara” atau “atas nama rakyat”. Seakan dengan “mengatas-namakan negara” atau “mengatas-namakan rakyat”, lantas bisa berbuat apa saja tak peduli aturan, paugeran.
Meskipun dalam perjalanan sejarah umat manusia selalu muncul pengkhianat-pengkhianat baru dengan alasan-alasan baru pula. Sepertinya, setiap zaman melahirkan pengkhianat baru. Dan pengertiannya pun berkembang; alasan pengkhianatanyapun makin beragam.
Sementara anggota triumvirat itu adalah Mark Antony, Marcus Aemilius Lepidus, dan Octavianus. Persekutuan ini bubar, setelah Octavianus yang ingin menggenggam seluruh kekuasaan di tangannya, memerangi Antony di Mesir (kisah Cleopatra) dan memenangi perang Actium (2 September 31 SM), sebelah barat pantai Yunani sekarang ini. Lepidus juga disingkirkan Octavianus, yang akhirnya menjadi penguasa tunggal.
***
Suatu hari, kata Suetonius, menjelang kematiannya, Octavianus yang terbaring tak berdaya di tempat tidurnya mengatakan: “Acta est fabula. Cheers!” (Pentas sudah berakhir. Tepuk tanganlah”).
Octavianus meninggal 14 Agustus 14 di Nola, Campania (wilayah di Italia Selatan daerah pegunungan dan berbukit-bukit yang mencakup empat propinsi: Avellino, Benevento, Caserta, dan Napoli).
Di hari-hari akhir hidupnya, Octavianus selalu bertanya, apakah ada kebahagiaan selain untuk dirinya. Apakah rakyat juga bahagia hidupnya? Ia juga selalu minta sisir dan cermin untuk mematut-matut diri.
Lalu, Octavianus mengundang teman-temannya masuk ke dalam kamarnya. “Apakah saya telah memainkan komedi kehidupan dengan baik. Kalau memang baik, tepuk tanganlah. Dan, temani saya untuk bergembira-ria.”
Kepada istrinya, Livia Drusilla, Octavianus berpesan: “Litvia, hiduplah dengan senantiasa mengutamakan persatuan kita. Selamat tinggal.”
Kata Suetonius, dua kali Octavianius ingin menghidupkan kembali Republik Romawi. “Saya benar-benar ingin menghidupkan republik pada tempatnya dengan sehat dan tanpa cidera (berjalan baik sesuai ketentuan konstitusi serta memberikan kemakmuran pada seluruh rakyat dan tidak korup) dan rakyat menikmatinya. Saya akan dicatat sebagai pendiri negara yang unggul. Semoga setelah saya meninggal fondasi negara yang saya letakkan tetap kokoh.”
Suetonius mengisahkan, Octavianus memenuhi janjinya. Dengan segala daya dan upaya, bekerja keras membangun negara agar rakyat tidak mengeluh. Ia memberikan kemakmuran pada rakyatnya; menjadikan negara aman.
Satu-satunya kemunduran di zaman Octavianus adalah kekalahan Romawi pada perang di HutanTeutoburg, tahun 9 M. Tentara Romawi dikalahkan pasukan Germania. Akibatnya perbatasan Romawi harus mundur ke sebelah timur Sungai Rhine.
Karena kekalahan itu, Octavianus sangat terpukul. Karena saking kecewa, di kamarnya, ia selalu membentur-mbenturkan kepalanya ke tembok dan berteriak: “Kembalikan pasukanku…”
***
Mungkin penonton tak ingat kisah Kaisar Octavianus itu. Tapi, komentarnya, “Lo specttacolo e arrivito alla fine, applaudite,” seakan menghidupkan lagi Octavianus.
Tapi, seorang pradangga yang pernah belajar gamelan jawa dan calung banyumasan, Daniele Zappatore mengatakan, “Lo spettacolo non e ancora finito”, pertunjukan belum berakhir. Kami masih akan main di Palermo…
Memang, “spectaculum est super adhuc”, pertunjukan belum berakhir….
Penulis : Redaksi-Kompas-TV
Sumber : Kompas TV