Gusti Kulo Nyuwun Saras
Opini | 18 Juli 2021, 07:10 WIBOleh Trias Kuncahyono, Jurnalis Harian Kompas
I
Suatu hari, pekan lalu, saya menerima kiriman video refrein tembang, dari budayawan Yogyakarta, Rama G Budi Subanar SJ. Di hari yang lain, pekan lalu juga, saya mendapat kiriman video pendek berisi refrein lagu yang sama, Panyuwunan (Permohonan), dari Komunitas Perempuan Berkebaya Jogya. Mereka para anggota komunitas Perempuan Berkebaya ini tidak hanya nembang, menyanyikan lagu itu, tetapi bahkan juga menari di sebuah pendopo.
Di beberapa grup WA, juga diposting video pendek refrein lagu itu. Ada yang dinyanyikan oleh seorang anak kecil, ada pula yang ditembangkan oleh seorang lelaki dewasa. Tembang Panyuwunan, yang pekan lalu hits, dimuat oleh berbagai portal media pula.
Kata Budi Subanar, lirik tembang Panyuwunan, aslinya adalah geguritan yang ditulis oleh Rama I Kuntara Wiryamartana SJ (dalam buku Sraddha Jalan Mulia Dunia Sunyi Jawa Kuno; KPG, 2019). Demikianlah bunyi refrein lagu itu:
Gusti, kula nyuwun saras : sarasing sukma – resiking maras
(Gusti, kami mohon kesembuhan: sembuhnya sukma – bersihnya hati)
Gusti, kula nyuwun tamba : tambaning jiwa – segering raga
(Gusti, kami mohon obat: obatnya jiwa – segarnya raga)
Gusti, kula nyuwun seneng : senenging manah – tulaking sereng
(Gusti, kami mohon cerah ceria: gembiranya hati – penangkal dengki)
Gusti, kula nyuwun sabar : sabaring budi – nalar jembar
(Gusti, kami mohon kesabaran: sabarnya budi – luasnya wawasan)
Syair refrein lagu Panyuwunan, menyentuh kedalaman. Mewakili teriakan pengharapan sebagian besar masyarakat Indonesia; dan bahkan umat manusia. Terasa sangat mengena, refrein lagu itu ditembangkan pada saat ini. Saat ketika bangsa ini sedang dalam kondisi yang sangat berat karena pandemi Covid-19 yang semakin menggila.
(meskipun ada yang lebih gila lagi, tidak percaya pada serangan Covid-19 dan malah memberikan komentar-komentar yang sama sekali tidak bijaksana, tidak menunjukkan keluhuran budi, keluhuran orang yang beragama. Dan, ada pula yang mencari keuntungan politik dan bisnis di tengah derita bangsa).
II
Dengan melantunkan refrein tembang itu, kita serasa sedang berdoa. Ya, memang berdoa. Doa dilangitkan oleh banyak orang pada saat ini, dengan cara masing-masing:
Oleh mereka yang berduka ditinggal orang-orang yang dicintai karena menjadi korban Covid-19, oleh mereka yang sedih karena ada anggota keluarga atau sanak famili yang sakit, oleh mereka yang kesulitan mendapatkan obat-obatan atau vitamin, oleh mereka yang kesulitan sekali mendapakan oksigen, oleh mereka yang tidak mempunyai lagi pekerjaan, oleh mereka yang bisnisnya mati, oleh mereka yang sudah tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan menghadapi situasi tak menentu sekarang ini, dan masih banyak lainnya yang menjadi alasan mengapa berdoa.
Manusia sudah mengenal doa sebelum ia mengenal Tuhannya. Pada waktu manusia masih berada di zaman kegelapan, bisa jadi matahari, bulan, bintang, pohon-pohon besar atau batu-batu besar, atau roh-roh yang dituhankan, dianggap sebagai kekuatan yang bisa diminta pertolongan.
Manusia sudah mempunyai kebutuhan untuk meminta tolong kepada sesuatu yang lebih berkuasa dari dirinya, terutama ketika dirinya merasa lemah dan kalah terhadap sesuatu yang lebih kuat dan berkuasa.
Mengapa berdoa? Dengan berdoa, kita tidak merasa sendiri. Tetapi, dengan berdoa, kita merasa bahwa Tuhan bersama dengan kita; menemani kita dalam menghadapi situasi berat, termasuk situasi sekarang ini.
Karena kita tidak sendiri, maka kita menjadi berani; berani menghadapi persoalan hidup, sekalipun itu berat dan sulit, bahkan melampaui kemampuan manusia. Itu berarti bahwa dengan berdoa, kita merasakan bahwa Tuhan selalu beserta kita.
Melalui doa, kita bisa menyampaikan segala hal kepada Tuhan. Kita bisa curhat apa pun; apa pun yang ada dalam hati kita, entah itu perasaan sedih, gembira, kecewa, puas, putus asa, lega, panik, frustasi, kemarahan, atau apa pun.
Bukankah doa, dalam pengertian yang paling sederhana adalah bercakap-cakap dengan Tuhan. Ya, bercakap-cakap seperti kita bercakap-cakap dengan saudara atau sahabat, atau siapa pun orang yang sudah kita kenal, yang kita cintai.
Kata filsuf Islam tersohor dari Persia Al-Ghazâlî (c.1056–1111), doa merupakan elemen esensial dalam hubungan antara manusia dan Tuhan. Selama seseorang masih manusia, ia tidak bisa mengenyahkan doa kepada Tuhan.
Doa menjadi lantaran terwujudnya keputusan Tuhan. Tetapi, doa bukan merupakan satu-satunya sebab. Karena, segala sesuatu muncul dari kehendak dan kekuasaan Tuhan.
Maka itu, kata Tom Jacobs SJ (2004), doa bukan sarana untuk “membujuk” atau “menyogok” Tuhan. Doa berarti berjuang bersama Tuhan. Bukan serah-terima kepada Tuhan.
Memang kita diteguhkan oleh Tuhan dalam doa. Tetapi, kalau kita diam saja, tidak berbuat apa-apa—dalam hal ini, tidak berusaha sekuat tenaga untuk mengalahkan pandemi Covid-19, tidak menaati protokol kesehatan secara ketat, bersikap semau-gue dan merasa kampiun, merasa hebat—kita juga tidak dapat diteguhkan.
Dengan kata lain, doa tidak pernah dapat dilepaskan dari perjuangan hidup; juga tidak bisa menjadi alternatif untuk perjuangan. Maka ada pepatah ora et labora, berdoa dan berusaha. Setelah kita berjuang sekuat tenaga, segala daya upaya, barulah menyerahkan selebihnya pada Tuhan, biarlah tangan Tuhan yang berkarya, sesuai dengan providentia Dei, penyelenggaraan Ilahi. Maka berarti, dengan doa manusia menyerahkan diri kepada-Nya.
III
Dengan demikian, doa bukan lagi suatu beban atau kewajiban, melainkan suatu kebutuhan manusia yang menyadari diri sebagai mahkluk ciptaan Allah yang dikasihi oleh-Nya. Karena itu, kita tidak boleh takut berdoa—apa lagi di waktu-waktu sekarang ini—hanya karena merasa tidak pandai menyusun, merangkai kata-kata yang indah, yang puitis, yang panjang lebar, yang kelihatan pandai, atau yang beda dengan yang lain.
Doa bukan sesuatu yang dibuat-buat, yang dibikin-bikin. Sebab, doa melekat pada keadaan, pada kebutuhan yang nyata, yang kita alami, yang dialami bangsa kita sekarang ini. Doa adalah nyanyian hati, mohon belas kasihan, yang dipersembahkan pada Tuhan, seperti dilambungkan pemasmur: Gusti mugi kersaa dados redi sela papan pangayoman kawula, benteng santosa ingkang mitulungi kawula; Tuhan jadilah bagiku gunung batu tempat perlindungan, kubu pertahanan untuk menyelamatkan aku.
Gusti, kula nyuwun saras : sarasing sukma – resiking maras
Gusti, kula nyuwun tamba : tambaning jiwa – segering raga
Begitu Panyuwunan, I Kuntara Wiryamantartana……yang juga panyuwunan kita semua….
Penulis : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV