Gusti Kulo Nyuwun Saras
Opini | 18 Juli 2021, 07:10 WIBManusia sudah mengenal doa sebelum ia mengenal Tuhannya. Pada waktu manusia masih berada di zaman kegelapan, bisa jadi matahari, bulan, bintang, pohon-pohon besar atau batu-batu besar, atau roh-roh yang dituhankan, dianggap sebagai kekuatan yang bisa diminta pertolongan.
Manusia sudah mempunyai kebutuhan untuk meminta tolong kepada sesuatu yang lebih berkuasa dari dirinya, terutama ketika dirinya merasa lemah dan kalah terhadap sesuatu yang lebih kuat dan berkuasa.
Mengapa berdoa? Dengan berdoa, kita tidak merasa sendiri. Tetapi, dengan berdoa, kita merasa bahwa Tuhan bersama dengan kita; menemani kita dalam menghadapi situasi berat, termasuk situasi sekarang ini.
Karena kita tidak sendiri, maka kita menjadi berani; berani menghadapi persoalan hidup, sekalipun itu berat dan sulit, bahkan melampaui kemampuan manusia. Itu berarti bahwa dengan berdoa, kita merasakan bahwa Tuhan selalu beserta kita.
Melalui doa, kita bisa menyampaikan segala hal kepada Tuhan. Kita bisa curhat apa pun; apa pun yang ada dalam hati kita, entah itu perasaan sedih, gembira, kecewa, puas, putus asa, lega, panik, frustasi, kemarahan, atau apa pun.
Bukankah doa, dalam pengertian yang paling sederhana adalah bercakap-cakap dengan Tuhan. Ya, bercakap-cakap seperti kita bercakap-cakap dengan saudara atau sahabat, atau siapa pun orang yang sudah kita kenal, yang kita cintai.
Kata filsuf Islam tersohor dari Persia Al-Ghazâlî (c.1056–1111), doa merupakan elemen esensial dalam hubungan antara manusia dan Tuhan. Selama seseorang masih manusia, ia tidak bisa mengenyahkan doa kepada Tuhan.
Doa menjadi lantaran terwujudnya keputusan Tuhan. Tetapi, doa bukan merupakan satu-satunya sebab. Karena, segala sesuatu muncul dari kehendak dan kekuasaan Tuhan.
Maka itu, kata Tom Jacobs SJ (2004), doa bukan sarana untuk “membujuk” atau “menyogok” Tuhan. Doa berarti berjuang bersama Tuhan. Bukan serah-terima kepada Tuhan.
Memang kita diteguhkan oleh Tuhan dalam doa. Tetapi, kalau kita diam saja, tidak berbuat apa-apa—dalam hal ini, tidak berusaha sekuat tenaga untuk mengalahkan pandemi Covid-19, tidak menaati protokol kesehatan secara ketat, bersikap semau-gue dan merasa kampiun, merasa hebat—kita juga tidak dapat diteguhkan.
Dengan kata lain, doa tidak pernah dapat dilepaskan dari perjuangan hidup; juga tidak bisa menjadi alternatif untuk perjuangan. Maka ada pepatah ora et labora, berdoa dan berusaha. Setelah kita berjuang sekuat tenaga, segala daya upaya, barulah menyerahkan selebihnya pada Tuhan, biarlah tangan Tuhan yang berkarya, sesuai dengan providentia Dei, penyelenggaraan Ilahi. Maka berarti, dengan doa manusia menyerahkan diri kepada-Nya.
III
Dengan demikian, doa bukan lagi suatu beban atau kewajiban, melainkan suatu kebutuhan manusia yang menyadari diri sebagai mahkluk ciptaan Allah yang dikasihi oleh-Nya. Karena itu, kita tidak boleh takut berdoa—apa lagi di waktu-waktu sekarang ini—hanya karena merasa tidak pandai menyusun, merangkai kata-kata yang indah, yang puitis, yang panjang lebar, yang kelihatan pandai, atau yang beda dengan yang lain.
Doa bukan sesuatu yang dibuat-buat, yang dibikin-bikin. Sebab, doa melekat pada keadaan, pada kebutuhan yang nyata, yang kita alami, yang dialami bangsa kita sekarang ini. Doa adalah nyanyian hati, mohon belas kasihan, yang dipersembahkan pada Tuhan, seperti dilambungkan pemasmur: Gusti mugi kersaa dados redi sela papan pangayoman kawula, benteng santosa ingkang mitulungi kawula; Tuhan jadilah bagiku gunung batu tempat perlindungan, kubu pertahanan untuk menyelamatkan aku.
Gusti, kula nyuwun saras : sarasing sukma – resiking maras
Gusti, kula nyuwun tamba : tambaning jiwa – segering raga
Penulis : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV