Seabad Soeharto: Panduan Terbuka bagi Penguasa Berikutnya
Opini | 6 Juni 2021, 20:56 WIBOleh: Aris Santoso, Pengamat Militer
Rezim Soeharto (1966-1998) selalu diingat karena skala korupsinya yang gigantik. Rezim Soeharto jatuh karena akronim yang kemudian istilah baku: KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Setelah 23 tahun berlalu, Reformasi 1998 dan semangat melawan KKN mirip obat nyamuk bakar, hanya melingkar-lingkar tak tentu arah. Ikhtiar melawan KKN hanya muncul sesekali, itu pun verbal, yakni saat kampanye pemilu.
Terkait korupsi dan nepotisme, Soeharto sering dijadikan parameter. Soeharto mengalami apa yang tersurat dalam pepatah lama “sudah jatuh tertimpa tangga”. Soeharto memperoleh stigma pelaku KKN oleh rezim berikutnya, namun KKN juga dilakukan rezim berikutnya.
Celakanya, ketika rezim berikut melakukan KKN, mereka bersembunyi di balik punggung Soeharto. Sebuah ironi, Soeharto dinista namun juga dijadikan perisai.
Akal Bulus Penguasa
Seperti yang terjadi hari-hari ini, lembaga yang paling diandalkan melawan korupsi, yakni KPK, justru “terjun bebas” di tubir jurang. Imbauan sejumlah guru besar lintas kampus, agar pelemahan terhadap KPK dihentikan, sama sekali tidak didengar. Para guru besar ibarat resi, sebagai simbol kebijakan. Di masa lalu, imbauan resi yang selalu didengar oleh para raja atau penguasa. Bila resi sampai turun gunung, sinyal adanya kekacauan luar biasa.
Sebagaimana catatan Budiman Tanuredjo dalam kolom regulernya, bahwa suara guru besar adalah seruan moral kampus, namun akhirnya tidak didengarkan (Kompas, 8/5/2021). Mengabaikan imbauan guru besar atau resi, dari segi peradaban berpikir, adalah kemunduran parah.
Sejak dulu resi dipercaya sebagai benteng terakhir moralitas, seperti ketika Ronggowarsito menulis “Serat Kalatida” (syair masa kegelapan). Pujangga pamungkas itu menulisnya dengan rasa putus asa, ketika elite istana (Solo) sudah menghamba pada kesejahteraan dan hasrat duniawi lainnya.
Terkait KKN, semua yang terjadi sekadar tricky atau akal bulus penguasa. Sejatinya seluruh rezim pasca-reformasi melakukan KKN juga, hanya “nonimalnya” tidak sebesar Orde Baru, setidaknya untuk sementara. Diksi “nominal” atau besaran itulah yang kemudian menjadi ruang manipulatif. Seluruh rezim dengan malu-malu sebenarnya mengakui telah melakukan KKN, asal tidak sebesar Orde Baru. Dalih ini yang kemudian menjadi olok-olok publik.
Persoalannya bukan hanya soal nominal, namun motivasi memperkaya diri sendiri dan kelompoknya sudah di luar akal sehat. Itu bisa terlihat ketika dana bansos (bantuan sosial) bagi rakyat, sehubungan pandemi, ternyata diselewengkan juga. Ketika rakyat bawah berjibaku melawan pandemi dan ancaman PHK, elite justu mengambil kesempatan memperkaya diri lewat korupsi.
Rasanya kita tidak adil juga, bila selalu menyalahkan figur Soeharto. Saat berkuasa Soeharto memang identik dengan KKN. Soal nepotisme misalnya, tentu saja Soeharto akan selalu lebih besar, karena anaknya memang lebih banyak, mengingat saat Soeharto membangun mahligai rumah tangga pada dekade 1940-an, program KB (keluarga berencana) dan pembatasan kelahiran belum lagi dikenal.
Bandingkan dengan penguasa sekarang, jumlah anak mereka mungkin hanya dua atau tiga, namun semua diorbitkan. Sekali lagi ini soal motivasi, yang memang secara “senyap” terus melanggengkan KKN. Namun ketika ada reaksi publik, jari penguasa langsung akan mengarah pada figur Soeharto.
Dalam hal KKN, Orde Baru adalah sebuah navigasi. Sebuah buku terbuka yang bisa menjadi panduan bagi mereka yang berkuasa, sebagaimana yang kita saksikan hari ini. Dalam fase ini, bagi mereka yang pernah melawan Orde Baru di masa lalu, setelah berkuasa tentu kerangka berpikirnya mengikuti Orde Baru, karena hanya buku panduan (Orde Baru) itulah yang mereka tahu.
Pelat Khusus dan Arogansi Kekuasaan
Ada peristiwa yang membuat kita miris pada pertengahan dekade 1980-an, ketika Soeharto sedang berada di puncak kekuasaan. Guna memeriahkan pencanangan Hari Olahraga Nasional (9 September 1983), Stadion Sriwedari (Solo), dihias dengan begitu indahnya oleh panitia lokal, sebagai wujud penghormatan pada (Presiden) Soeharto. Namun apa yang terjadi selanjutnya, sungguh di luar dugaan, alih-alih kegembiraan justru tangis pilu.
Sesaat sebelum Soeharto tiba, sebagai bagian dari prosedur pengamanan, Paspampres (Pasukan Pengamanan Presiden) hadir ke stadion. Dengan alasan prosedur standar pengamanan pula, hiasan indah stadion diobrak-abrik oleh anggota Paspampres, termasuk karpet yang menutup rumput stadion. Kontan saja tindakan Paspampres itu membuat ibu-ibu panitia yang ikut menghias stadion malam sebelumnya, sungguh terpukul, dan jerit tangis pilu tak terhindarkan lagi.
Kekuasaan memang kasat mata, dan cenderung angkuh, salah satunya adalah peristiwa di Stadion Sriwedari tersebut. Sungguh tak masuk akal, pada dekade 1980-an, Soeharto sedang di puncak kuasaan, dan Soeharto sedang kembali ke basis kulturalnya (Solo), ancaman macam apa yang dibayangkan Paspampres sehingga sampai tega merusak dekorasi stadion. Arogansi kekuasaan kembali berulang hari ini, ketika anggota DPR RI meminta nomor khusus pelat mobil dinasnya.
Sejarah seperti berulang, pameran kekuasaan di era Soeharto kemudian direplikasi secara masif, seperti yang ditunjukkan anggota DPR RI tersebut. Pamer kekuasaan juga menjalar sampai ke kota-kota kecil, ketika para bupati atau wali kota juga meminta pengawalan khusus (voorijder) saat melakukan dinas. Sementara kota tempat dia berkuasa, suasana sangat sepi, jauh dari kata macet, sehingga delman pun masih bisa melintas.
Saya sendiri membayangkan, fasilitas yang diinginkan anggota DPR tidak berhenti sampai di sini, suatu saat mereka juga akan meminta pengawalan khusus (voorijder), seperti bupati atau wali kota. Mereka akan berdalih, bila pejabat di daerah saja bisa memperoleh fasilitas (pengawalan) seperti itu, tentu pejabat pusat (anggota DPR) sangat layak untuk mendapatkan hal yang sama.
Mungkinkan ini semua adalah manusiawi semata, bahwa setiap elite politik selalu mencari celah untuk menebalkan kesejahteraan dan kekuasaannya. Kesederhanaan hidup hanya menjadi cerita masa lalu, bersamaan dengan tipisnya memori publik terhadap tokoh bersahaja seperti Hatta, Natsir, Hoegeng, Sjahrir, AH Nasution, dan seterusnya.
Turbulensi politik di negeri kita bisa dianalogikan dengan gerhana bulan (total) akhir Mei yang lalu, bahwa setelah kegelapan, sebersit sinar mulai muncul. Kiranya elite negeri kembali pada kesadaran, bahwa pemimpin adalah mereka yang berkorban untuk rakyat.
Tentu tidak perlu seekstrem figur Tan Malaka, yang seperti manusia di titik nol. Sekadar perbandingan, kita bisa menengok anggota parlemen di India, yang hanya memakai kendaraan sederhana, dan tentunya tidak memakai pelat nomor khusus.
Penulis : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV