Seabad Soeharto: Panduan Terbuka bagi Penguasa Berikutnya
Opini | 6 Juni 2021, 20:56 WIBRasanya kita tidak adil juga, bila selalu menyalahkan figur Soeharto. Saat berkuasa Soeharto memang identik dengan KKN. Soal nepotisme misalnya, tentu saja Soeharto akan selalu lebih besar, karena anaknya memang lebih banyak, mengingat saat Soeharto membangun mahligai rumah tangga pada dekade 1940-an, program KB (keluarga berencana) dan pembatasan kelahiran belum lagi dikenal.
Bandingkan dengan penguasa sekarang, jumlah anak mereka mungkin hanya dua atau tiga, namun semua diorbitkan. Sekali lagi ini soal motivasi, yang memang secara “senyap” terus melanggengkan KKN. Namun ketika ada reaksi publik, jari penguasa langsung akan mengarah pada figur Soeharto.
Dalam hal KKN, Orde Baru adalah sebuah navigasi. Sebuah buku terbuka yang bisa menjadi panduan bagi mereka yang berkuasa, sebagaimana yang kita saksikan hari ini. Dalam fase ini, bagi mereka yang pernah melawan Orde Baru di masa lalu, setelah berkuasa tentu kerangka berpikirnya mengikuti Orde Baru, karena hanya buku panduan (Orde Baru) itulah yang mereka tahu.
Pelat Khusus dan Arogansi Kekuasaan
Ada peristiwa yang membuat kita miris pada pertengahan dekade 1980-an, ketika Soeharto sedang berada di puncak kekuasaan. Guna memeriahkan pencanangan Hari Olahraga Nasional (9 September 1983), Stadion Sriwedari (Solo), dihias dengan begitu indahnya oleh panitia lokal, sebagai wujud penghormatan pada (Presiden) Soeharto. Namun apa yang terjadi selanjutnya, sungguh di luar dugaan, alih-alih kegembiraan justru tangis pilu.
Sesaat sebelum Soeharto tiba, sebagai bagian dari prosedur pengamanan, Paspampres (Pasukan Pengamanan Presiden) hadir ke stadion. Dengan alasan prosedur standar pengamanan pula, hiasan indah stadion diobrak-abrik oleh anggota Paspampres, termasuk karpet yang menutup rumput stadion. Kontan saja tindakan Paspampres itu membuat ibu-ibu panitia yang ikut menghias stadion malam sebelumnya, sungguh terpukul, dan jerit tangis pilu tak terhindarkan lagi.
Kekuasaan memang kasat mata, dan cenderung angkuh, salah satunya adalah peristiwa di Stadion Sriwedari tersebut. Sungguh tak masuk akal, pada dekade 1980-an, Soeharto sedang di puncak kuasaan, dan Soeharto sedang kembali ke basis kulturalnya (Solo), ancaman macam apa yang dibayangkan Paspampres sehingga sampai tega merusak dekorasi stadion. Arogansi kekuasaan kembali berulang hari ini, ketika anggota DPR RI meminta nomor khusus pelat mobil dinasnya.
Sejarah seperti berulang, pameran kekuasaan di era Soeharto kemudian direplikasi secara masif, seperti yang ditunjukkan anggota DPR RI tersebut. Pamer kekuasaan juga menjalar sampai ke kota-kota kecil, ketika para bupati atau wali kota juga meminta pengawalan khusus (voorijder) saat melakukan dinas. Sementara kota tempat dia berkuasa, suasana sangat sepi, jauh dari kata macet, sehingga delman pun masih bisa melintas.
Saya sendiri membayangkan, fasilitas yang diinginkan anggota DPR tidak berhenti sampai di sini, suatu saat mereka juga akan meminta pengawalan khusus (voorijder), seperti bupati atau wali kota. Mereka akan berdalih, bila pejabat di daerah saja bisa memperoleh fasilitas (pengawalan) seperti itu, tentu pejabat pusat (anggota DPR) sangat layak untuk mendapatkan hal yang sama.
Mungkinkan ini semua adalah manusiawi semata, bahwa setiap elite politik selalu mencari celah untuk menebalkan kesejahteraan dan kekuasaannya. Kesederhanaan hidup hanya menjadi cerita masa lalu, bersamaan dengan tipisnya memori publik terhadap tokoh bersahaja seperti Hatta, Natsir, Hoegeng, Sjahrir, AH Nasution, dan seterusnya.
Turbulensi politik di negeri kita bisa dianalogikan dengan gerhana bulan (total) akhir Mei yang lalu, bahwa setelah kegelapan, sebersit sinar mulai muncul. Kiranya elite negeri kembali pada kesadaran, bahwa pemimpin adalah mereka yang berkorban untuk rakyat.
Penulis : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV