Membedah Donerflation dan Politisasi Makanan ala Jerman
Kompas dunia | 28 Juni 2024, 07:00 WIB
BERLIN, KOMPAS.TV - Pemilu Parlemen Uni Eropa tahun ini baru berakhir. Berbagai isu ‘langganan’ mulai dari perdebatan soal penanganan imigran, sikap Uni Eropa terhadap konflik Rusia-Ukraina dan Palestina-Israel, hingga kenaikan biaya hidup yang kian mencekik, menjadi diskursus publik yang panjang dan memecah belah.
Namun, di balik hiruk-pikuk polarisasi politik, ada satu topik yang menyatukan warga Jerman, selain sepak bola tentunya, yakni keluhan akan kenaikan harga Döner atau yang dikenal dengan 'Dönerflation'.
Bertamu ke Kota Berlin, bisa jadi bukan makanan khas Jerman yang pertama kali ditemukan, melainkan makanan khas Timur Tengah yang menjamur, salah satunya kebab asal Turki, Döner.
Di berbagai ruas jalan utama Berlin, atau kota lain di Jerman, toko kebab Döner yang menggugah selera jadi pemandangan yang lumrah.
Sejak diperkenalkan oleh pekerja Turki di tahun 1970-an, Döner menjadi makanan yang populer dan mendapat tempat yang istimewa di Jerman.
Roti isi daging atau sayur-sayuran yang dilengkapi dengan saos bawang atau yogurt ini dulunya identik sebagai jajanan murah anak muda, namun kini berubah mahal bak komoditas mewah.
Baca Juga: Polisi Jerman Tangkap Ayah dan Anak yang Diduga Memeras Keluarga Michael Schumacher
Sebelum tahun 2019, harga Döner cenderung normal di kisaran 3 hingga 4 euro (Rp52.000-Rp70.000). Namun kini jangan harap bisa menemukan Döner murah.
Sejak pandemi Covid-19, harga Döner naik drastis nyaris 2 kali lipat, sekarang rata-rata dibanderol dengan harga 7 hingga 8 euro (Rp120.000-Rp 140.000). Di beberapa kota bahkan harganya bisa lebih mahal.
Pekerja muda yang bergantung pada makanan murah tak lagi bisa mengandalkan Döner,. Mereka pun harus berpikir dua kali untuk menyantap kebab Turki itu.
“Sungguh gila betapa mahalnya harga Döner sekarang, beberapa tahun lalu saya hanya bayar 3,5 euro (Rp61.000) dan sekarang harganya bisa 6 (Rp105.000), kadang 7 (Rp120.000), atau bahkan 8 euro (Rp140.000). Döner sudah bukan makanan murah lagi,” tutur warga Berlin, Viktoria (28), Sabtu, 8 Juni 2024.
Döner Jadi Komoditas Politik
Di Jerman, Döner bukan perkara personal, tapi merupakan perhatian nasional dan menjadi isu politik.
Berbagai media lokal dan internasional pun membahas fenomena 'Dönerflation' atau kenaikan harga Döner. Bahkan, Kanselir Jerman Olaf Scholz mengaku ‘diteror’ anak muda untuk menurunkan harga kebab Döner.
Ia menegaskan, tidak akan menentukan Harga Eceran Tertinggi (HET) atau price cap Döner karena harga ditentukan oleh mekanisme permintaan dan pasokan di pasar.
“Sungguh luar biasa, kemana pun saya pergi, utamanya anak muda, saya ditanya soal pengendalian harga kebab,” tutur Scholz lewat akun Instagramnya, menjawab pertanyaan soal kemungkinan harga kebab diturunkan menjadi 3 euro.
Baca Juga: Penyelidikan Korupsi Israel: Netanyahu Disebut Terlibat Skandal Pembelian Kapal Selam Jerman
Saat menyinggung soal ‘Dönerflation’ di kalangan anak muda Jerman, sebagian tertawa seakan menganggap fenomena ini sebagai sebuah guyonan.
Namun sebagian lain menyambut serius dan menyatakan seharusnya Döner tetap murah.
Apapun reaksinya, anak-anak muda menyadari kenaikan harga kebab yang dekat dengan keseharian mereka itu.
“Tidak hanya Döner saja yang naik harga, tapi secara umum segalanya naik. Beberapa tahun ini inflasi sangat tinggi dan segalanya jadi mahal, menyebalkan,” tutur Vera, Sabtu, 8 Juni 2024.
Kegundahan para pemilih muda soal kenaikan harga di Jerman ditangkap oleh politisi muda dari Partai Demokrat Sosial (SPD), Freddy Augustin, yang salah satu kampanyenya ialah membagikan kupon Döner 3 euro.
Total sudah lima kali Freddy membagikan 100 kupon Döner murah kepada masyarakat. Meski kampanye politiknya ini cukup mahal dan menguras tabungan, namun Freddy mengaku cara ini efektif menjadi jendela untuk membuka diskusi politik dengan para pemilih muda.
Baca Juga: Jerman Umumkan Penyitaan 35,5 Ton Kokain Senilai Rp43,4 Triliun, Sebut Ini Penangkapan Terbesar
Freddy mengeklaim harga Döner selalu menjadi topik yang dibahas oleh anak muda di tiap kunjungannya.
“Saya (pemilih) peduli soal kebebasan, rasisme, dan harga Döner,” katanya menirukan percakapannya dan calon pemilih, Sabtu, 8 Juni 2024.
Freddy, yang merupakan politisi generasi Z, mengeklaim cukup paham cara berkomunikasi dengan pemilih muda.
Selain aktif di media sosial, ia juga mengandalkan isu yang dekat dengan anak muda seperti inflasi Döner.
Menurut dia, mahalnya Döner menjadi pintu masuk pemahaman soal kenaikan harga energi, properti, dan inflasi secara umum.
Harapannya, percakapan politik bisa berlanjut hingga pemahaman akan pentingnya terlibat dalam politik dengan menggunakan hak pilih mereka dalam pemilu parlemen Uni Eropa.
Jika Indonesia pada pemilu Februari lalu memiliki partisipasi pemilu cukup tinggi di kisaran 81 persen, partisipasi pemilih pada Pemilu Parlemen Uni Eropa di Jerman berada di kisaran 64 persen.
Baca Juga: Kota di Jerman Lakukan Referendum Demi Bisa Bunuh Burung Merpati, Kok Bisa?
Angka tersebut merupakan rekor tertinggi sejak reunifikasi atau bersatunya Jerman Barat dan Timur pada tahun 1990.
“Kami tidak menyatakan bahwa harga Döner ditentukan oleh pemerintah secara ajaib, tapi kami menyatakan anak-anak dan pemilih muda menyadari kenaikan harga yang drastis sedang terjadi di Eropa lewat Döner,” jelas Freddy.
Dia mungkin saja ‘menebeng’ popularitas Döner untuk kampanyenya karena siapa yang tidak senang mendapat kupon Döner murah?
Nyatanya, berkat membagikan kupon Döner 3 euro, ia dengan mudah menarik minat masyarakat untuk mampir makan Döner murah. Namun, itu tidak berarti para anak muda sekonyong-konyong bakal memilihnya.
Viktoria, salah seorang pemilih milenial yang menikmati kupon Döner 3 euro, mengaku tidak tergoyahkan dengan pilihan politiknya.
“Kenapa tidak (diambil)? Kami senang (dapat Döner murah). Tapi saya tidak akan memilih mereka (SPD) hanya karena mendapat kupon, tidak akan, kami hanya mengambilnya karena kami kere. Saya yakin orang-orang tidak akan memilih hanya karena Döner murah,” tuturnya sembari tertawa.
Dönerflation, Kenaikan Harga yang Emosional
Ilmuwan data, Jan Degener, yang mengolah data tren harga Döner dari Google Reviews, menyatakan kenaikan signifikan terjadi dalam 2-3 tahun terakhir.
Secara rata-rata, harga Döner meroket dari 4 euro pada tahun 2019 menjadi 7 euro pada tahun ini atau melonjak 75 persen dari harga yang sebelumnya cenderung datar.
Jika disandingkan dengan inflasi secara umum, kenaikan harga Döner jauh di atas inflasi nasional Jerman.
Pada tahun 2020 misalnya, saat inflasi naik 0,5 persen, kenaikan harga Döner mencapai 12,5 persen.
Di tahun selanjutnya, tren serupa juga terjadi di mana inflasi nasional dan Döner berselisih 5,7 persen.
Baca Juga: G7 Tak Bahas Usulan Damai Putin untuk Ukraina, Kanselir Jerman: Itu Tidak Serius
Yang tertinggi terjadi pada tahun 2023, inflasi Döner terbang di level 20 persen dan inflasi nasional di angka 5,7 persen.
Dari data yang diolahnya, Jan menyimpulkan, ada dua faktor utama yang menyebabkan meroketnya harga Döner.
Pertama, pandemi Covid-19 pada tahun 2020 memaksa produsen untuk menaikkan harga untuk bertahan.
Kedua, pecahnya konflik Ukraina-Rusia.
“Kesimpulan saya terjadi kenaikan harga Döner yang sangat tiba-tiba, sebelum tahun 2019 harganya stabil dan mendadak harga melonjak saat terjadi perang Rusia-Ukraina,” jelas Jan, Kamis, 20 Juni 2024.
Jika membaca data inflasi nasional Jerman, sejak pandemi Covid-19, inflasi memang di luar batas kewajaran yang bisa dikendalikan di level satu hingga dua persen. Namun kenaikannya tidak setajam inflasi Döner.
Jan menduga ada tekanan di rantai pasokan yang menyebabkan kenaikan yang di luar kewajaran.
Di sisi lain, harga Döner cenderung stabil sebelum tahun 2019. Ini yang membuat masyarakat merasa berhak mendapat Döner di harga 3-4 euro dan menganggap harga di luar itu tidak bisa diterima.
“Untuk kebanyakan orang, inflasi Döner yang terjadi dua tahun terakhir, sangat tinggi dan ini adalah makanan yang familiar bagi semua orang. Jadi tidak ada seorang pun yang bisa menyembunyikannya,” tutur Jan.
Dia menambahkan, Döner merupakan makanan yang menempati tempat istimewa bagi sebagian warga Jerman.
Döner menjadi makanan yang mereka santap sejak kecil menuju dewasa dan karena banyaknya toko kebab Turki yang tersebar, kebanyakan orang punya kedai favorit.
Bagi anak muda atau mereka yang berpenghasilan pas-pasan, Döner menjadi makanan yang diandalkan, namun kini semuanya telah berubah. Karena hubungan emosional itu, Jan menilai wajar jika inflasi Döner menjadi pembahasan nasional.
Mengingat kembali masa remajanya, Jan menyebut ia dan sejawatnya hampir selalu membeli Döner saat nongkrong karena itu lah makanan yang terjangkau untuk semua kelas ekonomi.
Rasa frustrasi pun muncul tatkala makanan yang dulunya dekat di hati mereka, kini tak lagi terjangkau.
“Saya ingat ketika masih di sekolah, kedai kebab Döner menjadi langganan kami, itu tempat yang semua orang bisa jangkau. Di zamanku, harganya hanya 2,5 euro (Rp43.000)," kata Jan.
"Döner makanan yang semua orang bisa nikmati. Ini menunjukkan betapa emosionalnya perkara Döner. Di artikel saya, saya menjelaskan bahwa Döner bagi sebagian orang dianggap sebagai makanan nasional meski memiliki akar/asal yang sangat berbeda,” tandasnya.
Penulis : Wella Andany Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Kompas TV