Warga Gaza Korban Serangan Israel Tunjukkan Kekuatan Istimewa saat Berbuka Puasa di Tengah Kelaparan
Kompas dunia | 13 Maret 2024, 07:51 WIBMUWASI, KOMPAS.TV - Suasana hening terlihat saat Randa Baker dan keluarganya duduk di dalam tenda mereka di selatan Gaza saat matahari terbenam pada Senin (11/3/2024). Mereka berbuka puasa hari pertama puasa di bulan suci Ramadan.
Tiga anaknya sebagian besar diam saat Baker menata sebuah hidangan sederhana yang terdiri dari nasi, kentang, dan kacang polong, hidangan yang disusun dari bantuan amal.
"Ada apa? Makanlah, nak," kata ibu Baker kepada anak bungsunya, Alma, yang sedih memandang hidangan di hadapannya.
Anak laki-laki Baker yang berusia 12 tahun, Amir, terlalu sakit untuk bergabung dengan mereka; dia mengalami stroke sebelum perang dan kini lumpuh. Juga absen di bulan Ramadan ini adalah suami Baker: Dia tewas bersama dengan 31 orang lainnya dalam serangan Israel di Gaza ketika rumah mereka dihancurkan.
"Ramadan tahun ini adalah kelaparan, rasa sakit, dan kehilangan," kata Baker, 33 tahun. "Orang-orang yang seharusnya bersama-sama di meja makan dengan kami telah pergi."
Bagi umat muslim, bulan suci tersebut berisi upaya menahan diri dan melawan hawa nafsu, refleksi keagamaan, dan amal bagi orang miskin dengan perayaan meriah saat keluarga-keluarga menikmati hidangan berbuka puasa saat matahari terbenam.
Dalam masa damai, Baker biasanya akan menghias rumahnya dan menyajikan hidangan berbuka puasa yang penuh kelezatan. Tetapi seperti semua orang di Gaza, hidupnya kini hancur oleh serangan brutal Israel.
Sejak kematian suaminya, dia, anak-anaknya, dan ibunya pergi menyelamatkan diri dan sekarang berada di Muwasi, sebuah daerah pedesaan di selatan Gaza yang ramai dengan tenda-tenda warga Palestina yang menyelamatkan diri usai rumah mereka dihancurkan Israel.
Baca Juga: Korban Jiwa Serangan Israel di Gaza Tembus 31.184, Kematian Akibat Malanutrisi dan Dehidrasi 27
Israel menyatakan perang setelah serangan Hamas pada 7 Oktober yang menyebabkan kematian 1.200 orang dan sekitar 250 orang dijadikan tawanan.
Lebih dari 31.000 warga Palestina tewas dan lebih dari 70.000 terluka dalam perang Israel melawan Hamas sejak saat itu, menurut Kementerian Kesehatan Gaza.
Sebagian besar 80% dari 2,3 juta penduduk Gaza telah terusir dalam perang, lebih dari setengahnya ditempatkan di bagian selatan dekat kota Rafah, banyak dari mereka tinggal di tenda-tenda dan sekolah yang telah diubah menjadi tempat perlindungan.
Dengan pasokan yang hanya menetes masuk ke wilayah Gaza, kelaparan merajalela. Banyak keluarga hidup dari satu kali makan sehari.
Di utara Gaza yang terisolasi, orang-orang kelaparan, dan banyak dari mereka harus makan pakan hewan. Beberapa orang dewasa hanya makan sekali sehari, menyimpan makanan apa pun yang mereka miliki untuk anak-anak mereka.
Islam memberikan pengecualian bagi beberapa orang dari kewajiban berpuasa. Jika perang berakhir, mereka yang kemudian menjadi mampu berpuasa harus melakukannya, mengganti hari-hari yang terlewatkan, kata Pusat Agama Islam Al-Azhar.
Di sana-sini, warga Palestina berupaya untuk tetap mempertahankan semangat Ramadan.
Baca Juga: Mencekam Jelang Ramadan, Israel Kerahkan Lebih Banyak Polisi di Masjid Al-Aqsa
Di sebuah sekolah yang dipenuhi oleh orang-orang yang mengungsi di Rafah, seorang penyanyi memimpin anak-anak dalam menyanyikan lagu-lagu Ramadan.
Setelah malam tiba, ummat berkumpul di sekitar puing-puing masjid untuk melaksanakan salat tarawih.
Seperti yang lain, Fayqa al-Shahri menggantungkan lampu-lampu meriah di sekitar tendanya di Muwasi dan memberikan lentera-lentera kecil kepada anak-anak, sebuah simbol Ramadan. Dia mengatakan ingin anak-anak itu "menemukan sedikit kegembiraan di tengah situasi depresi mereka."
Tetapi upaya untuk merayakan kegembiraan sebagian besar hilang dalam kesengsaraan dan kelelahan saat Palestina melalui perjuangan harian untuk mencari makanan.
Orang-orang memadati pasar terbuka di Rafah untuk berbelanja barang-barang yang tersedia.
Daging hampir tidak mungkin ditemukan, sayuran dan buah-buahan jarang, dan harga untuk segala sesuatu telah melonjak. Mayoritas, orang-orang hanya bisa makan makanan kaleng.
"Tidak ada seorang pun yang memancarkan binar kebahagiaan dari mata mereka. Semua rumah sedih. Di setiap keluarga ada martir," kata Sabah al-Hendi, seorang perempuan pengungsi dari kota selatan Khan Younis, saat dia berkeliling pasar Rafah. "Suasana Ramadan absen kali ini."
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Associated Press