Sejarah Konflik Israel-Palestina: Perang 6 Hari Naksa dan Intifada Pertama yang Lahirkan Hamas (II)
Kompas dunia | 12 Oktober 2023, 09:05 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Serangan Hamas yang dimulai sejak Sabtu pagi 7 Oktober 2023 lalu kembali memanaskan konflik antara Israel dan Palestina. Tak lama, sehari setelahnya, pada Minggu 8 Oktober 2023 waktu setempat, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang berang karena kecolongan atas serangan mengejutkan itu, segera menyatakan perang dengan Hamas, kelompok perlawanan Palestina.
Konflik antara Israel dan Palestina punya akar sejarah yang panjang. Mulai dari Deklarasi Balfour yang berisi janji Inggris akan negara bagi kaum Yahudi di tanah Palestina hingga Nakba atau pembersihan etnis Palestina, konflik antara kedua negara itu terus terjadi hingga sekarang.
Berikut bagian kedua lanjutan sejarah konflik Israel-Palestina.
Naksa atau Perang Enam Hari
Melansir Al Jazeera, setelah Nakba 1948, sebanyak 150.000 warga Palestina tetap tinggal di negara Israel yang baru terbentuk.
Baca Juga: Update Gaza Hari Ini: Kementerian Kesehatan Palestina Sebut 1.055 Warga Tewas, 5.184 Orang Terluka
Mereka terpaksa hidup di bawah pendudukan militer yang dikontrol ketat selama hampir 20 tahun sebelum mereka akhirnya diberikan kewarganegaraan Israel.
Mesir kemudian mengambil alih Jalur Gaza, dan pada tahun 1950, Yordania memulai pemerintahan administratifnya atas Tepi Barat.
Di tahun 1964, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dibentuk, dan setahun kemudian, partai politik Fatah didirikan.
Pada tanggal 5 Juni 1967, Israel menduduki sisa wilayah bersejarah Palestina, termasuk Jalur Gaza, Tepi Barat, Yerusalem Timur, Dataran Tinggi Golan Suriah, dan Semenanjung Sinai Mesir setelah memenangkan Perang Enam Hari melawan koalisi tentara Arab.
Bagi sebagian warga Palestina, hal ini menyebabkan perpindahan paksa kedua, atau Naksa, yang berarti “kemunduran” dalam bahasa Arab.
Pada bulan Desember 1967, Front Populer Marxis-Leninis untuk Pembebasan Palestina dibentuk.
Dalam dekade berikutnya, serangkaian serangan dan pembajakan pesawat oleh kelompok sayap kiri menarik perhatian dunia terhadap penderitaan rakyat Palestina.
Israel kemudian memulai membangun permukiman di Tepi Barat dan Jalur Gaza yang mereka kuasai.
Sistem dua tingkat diciptakan di mana pemukim Yahudi diberikan semua hak dan keistimewaan sebagai warga negara Israel. Sementara, warga Palestina harus hidup di bawah pendudukan militer yang mendiskriminasi mereka dan melarang segala bentuk ekspresi politik atau sipil.
Baca Juga: Soal Konflik Israel-Palestina yang Kian Memanas, PP Muhammadiyah Nyatakan Sikap Berikut Ini
Intifada Pertama 1987-1993
Intifada Pertama Palestina meletus di Jalur Gaza pada bulan Desember 1987.
Intifada atau intifadah adalah gerakan perlawanan demi merebut kembali tanah Palestina yang diduduki Israel. Intifada pertama ini dipicu tewasnya empat warga Palestina ketika sebuah truk Israel bertabrakan dengan dua mobil van yang membawa pekerja Palestina.
Protes menyebar dengan cepat ke Tepi Barat. Para pemuda Palestina melemparkan batu ke tank-tank dan tentara Israel.
Peristiwa ini kemudian memunculkan berdirinya gerakan Hamas, sebuah cabang dari Ikhwanul Muslimin yang terlibat dalam perlawanan bersenjata melawan pendudukan Israel.
Respons keras tentara Israel dirangkum dalam kebijakan "Patahkan Tulang Mereka” yang diperintahkan oleh Menteri Pertahanan saat itu, Yitzhak Rabin.
Aksi ini mencakup berbagai pembunuhan, penutupan universitas, deportasi aktivis, dan penghancuran rumah-rumah penduduk Palestina.
Intifada ini merupakan gerakan yang banyak dilakukan oleh kaum muda dan diarahkan oleh Kepemimpinan Nasional Terpadu Pemberontakan, sebuah koalisi faksi politik Palestina yang berkomitmen untuk mengakhiri pendudukan Israel dan membangun kemerdekaan Palestina.
Pada tahun 1988, Liga Arab mengakui PLO sebagai satu-satunya perwakilan rakyat Palestina.
Intifada dimulai dengan mobilisasi rakyat, protes massal, pembangkangan sipil, pemogokan yang terorganisir dengan baik, dan kerja sama komunal.
Baca Juga: Israel Tingkatkan Serangan di Gaza, YPSP Peringatkan Bencana Kemanusiaan Ancam Rakyat Palestina
Menurut organisasi hak asasi manusia Israel, B'Tselem, 1.070 warga Palestina dibunuh oleh pasukan Israel selama Intifada, termasuk 237 anak-anak.
Selain itu, setidaknya lebih dari 175.000 warga Palestina ditangkap. Pecahnya Intifada ini lantas mendorong komunitas internasional untuk mencari solusi atas konflik tersebut.
Intifada Pertama ini kemudian berakhir dengan penandatanganan Perjanjian Oslo pada tahun 1993.
Otoritas Palestina (PA), sebuah pemerintahan sementara yang diberikan pemerintahan mandiri terbatas di wilayah pendudukan Tepi Barat dan Jalur Gaza, juga dibentuk.
PLO mengakui Israel berdasarkan solusi dua negara dan secara efektif meneken perjanjian yang memberi Israel kendali atas 60 persen Tepi Barat, serta sebagian besar sumber daya tanah dan air di wilayah tersebut.
Sementara, PA seharusnya menjadi pemerintah Palestina terpilih pertama yang menjalankan negara merdeka di Tepi Barat dan Jalur Gaza dengan ibu kotanya di Yerusalem Timur. Namun, hal tersebut tidak pernah terjadi.
PA dianggap sebagai subkontraktor korup bagi pendudukan Israel yang bekerja sama erat dengan militer Israel dalam menekan perbedaan pendapat dan aktivisme politik melawan Israel.
Pada tahun 1995, Israel membangun pagar elektronik dan tembok beton di sekitar Jalur Gaza guna menghentikan interaksi dan komunikasi antara wilayah Palestina yang terpecah.
Baca Juga: Pembangkit Listrik Gaza Terancam Berhenti Beroperasi karena Blokade, Palestina: Pembunuhan Massal
Penulis : Rizky L Pratama Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas TV/Al Jazeera/Associated Press