Rusia Minta Pengadilan Tinggi PBB Tolak Kasus Ukraina soal Krimea dan Pendanaan Terorisme
Kompas dunia | 9 Juni 2023, 02:05 WIBDEN HAAG, KOMPAS.TV - Rusia mendesak para hakim di pengadilan tertinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau International Court of Justice (ICJ) menolak kasus yang diajukan Ukraina terhadap Moskow mengenai aneksasi Semenanjung Krimea tahun 2014 dan upaya mempersenjatai pemberontak di Ukraina timur sebelum serangan besar-besaran Rusia pada Februari 2022.
"Dalam kesempatan ini, kami hadir di hadapan Anda untuk menunjukkan bahwa permohonan Ukraina harus ditolak karena tidak memiliki dasar hukum apa pun. Tidak ada bukti fakta yang mendukungnya," kata Duta Besar Rusia untuk Belanda, Alexander Shulgin, kepada para hakim di Mahkamah Internasional seperti laporan Associated Press, Kamis (8/6/2023).
Shulgin juga menggunakan persidangan ini untuk menuduh Ukraina bertanggung jawab atas penghancuran bendungan Kakhovka. Ukraina menuduh Rusia meledakkan fasilitas yang dikuasai pasukan Moskow, sementara Rusia mengatakan Ukraina yang mengebomnya.
"Rezim Kiev tidak hanya meluncurkan serangan artileri massal terhadap bendungan pada malam 6 Juni, tetapi juga dengan sengaja memaksa tingkat air di waduk Kakhovka mencapai tingkat kritis dengan membuka katup-katup pembangkit listrik tenaga air," ujar Shulgin.
Pengacara Ukraina saat pembukaan persidangan hari Selasa mengatakan Rusia membiayai "kampanye intimidasi dan teror" oleh pemberontak di Ukraina timur sejak 2014 dan berusaha menggantikan komunitas multietnis di Krimea dengan "nasionalisme Rusia yang diskriminatif."
Ukraina mengajukan kasus ini tahun 2017, meminta pengadilan dunia untuk memerintahkan Moskow membayar reparasi atas serangan dan kejahatan seperti penembakan pesawat Malaysia Airlines penerbangan MH17 oleh rudal Rusia yang ditembakkan dari wilayah yang dikuasai pemberontak yang didukung Moskow pada 17 Juli 2014, yang menewaskan 298 penumpang dan awak.
Pemerintah Ukraina menuduh Rusia melanggar dua perjanjian, yaitu Konvensi Internasional tentang Pemberantasan Pendanaan Terorisme dan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.
Baca Juga: Perang Ukraina Rusia Bakal Makin Membara, Negara NATO Dikhawatirkan Bakal Mulai Kirim Pasukan
Menanggapi tuduhan pendanaan terorisme, Michael Swainston, seorang pengacara Inggris yang mewakili Rusia, mengatakan tim hukum Ukraina gagal membuktikan bahwa tindakan pemberontak pro-Moskow di Ukraina timur dapat dianggap sebagai terorisme.
"Adalah penting untuk membedakan antara teroris yang dengan sengaja menargetkan warga sipil dan tentara yang dapat memperkirakan bahwa warga sipil akan terbunuh sebagai kerusakan yang tidak sengaja saat menyerang target militer," kata Swainston. "Yang pertama adalah kejahatan perang, sedangkan yang kedua merupakan perilaku yang sah. Tentu saja, tentara juga bisa melakukan kesalahan."
Dia juga mempertanyakan apakah penembakan MH17 bisa dianggap sebagai tindakan terorisme dan berusaha menggoyahkan temuan pengadilan Belanda yang tahun lalu memvonis dua warga Rusia dan satu warga Ukraina yang pro-Moskow atas tuduhan pembunuhan berjumlah banyak karena peran mereka dalam penembakan pesawat Amsterdam-Kuala Lumpur tersebut.
Pengadilan Distrik Den Haag memutuskan setelah berbulan-bulan persidangan dan bertahun-tahun penyelidikan internasional bahwa pesawat Boeing 777 tersebut ditembak jatuh oleh sistem rudal Buk yang dibawa dari pangkalan militer Rusia ke Ukraina dan kemudian dikembalikan ke pangkalan.
"Tidak ada Buk Rusia. Tidak ada Buk yang berasal dari Rusia. Tidak ada awak untuk Buk yang berasal dari Rusia," kata Swainston, menyebut bukti yang digunakan oleh pengadilan Belanda dalam putusannya sebagai "sampah digital tanpa sumber."
Anggota tim hukum Rusia lainnya, Kirill Udovichenko, mengatakan kepada pengadilan bahwa "tidak ada perselisihan" bahwa konflik di Ukraina telah "menyebabkan kehilangan nyawa sipil. Namun, tidak ada dari peristiwa tragis ini yang menciptakan kasus yang masuk akal untuk terorisme atau pendanaan terorisme" sebagaimana yang didefinisikan dalam konvensi.
Setelah persidangan yang dijadwalkan akan berakhir minggu depan, para hakim akan membutuhkan beberapa bulan untuk mencapai keputusan dalam kasus ini. Putusan pengadilan bersifat final dan mengikat secara hukum.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Associated Press