> >

Media Dunia Terus Soroti Tragedi Kanjuruhan, Tuturkan Kisah Pilu Mereka yang Kehilangan Anaknya

Kompas dunia | 7 Oktober 2022, 21:00 WIB
Mochamad Munif menatap sedih foto anaknya, Lutvia, yang tergantung di dinding. Lutvia adalah satu dari 131 orang yang tewas dalam Tragedi Kanjuruhan, 32 diantaranya usia anak-anak. (Sumber: AFP via Straits Times)

MALANG, KOMPAS.TV - Mochamad Munif adalah seorang ayah, dan di siang yang terik itu dia memandangi makam putrinya dengan mata nanar penuh luka dan kesedihan, lalu menaburkan kelopak bunga di atas makam.

Setelah itu Munif tampak membungkuk, mencium nisan dan mengucapkan kata-kata yang tidak pernah ingin dia katakan sepanjang hidupnya, karena tidak ada seorang ayah pun di dunia yang ingin anak perempuannya meninggal lebih dulu dari dirinya.

"Jika kamu melakukan kesalahan padaku, kepada (aku) ayahmu, aku memaafkanmu," bisiknya di depan makam anak perempuannya di sebuah pemakaman di kota Malang, saat putri keduanya dan neneknya menangis di sampingnya, seperti laporan AFP yang dikutip Straits Times, Jumat (7/10/2022).

Munif, seperti banyak orang lain yang kehilangan orang-orang terkasih dalam kericuhan di Stadion Kanjuruhan pada akhir pekan lalu, tidak dapat memahami bagaimana putrinya yang berusia 20 tahun pamit pergi menonton pertandingan sepak bola pertamanya, lalu pulang tanpa nyawa.

Lutvia Damayanti, sang anak yang tewas dalam Tragedi Kanjuruhan, berada di pertandingan yang penuh sesak di Malang pada hari Sabtu yang berubah menjadi tragedi ketika polisi menembakkan gas air mata ke tribun yang penuh sesak.

Sontak, sapuan gas air mata itu membuat penonton yang panik bergegas ke pintu keluar berukuran kecil yang tersumbat oleh desakan ribuan penonton.

Sedikitnya 131 orang, termasuk 32 anak-anak tewas dan ratusan lainnya terluka dalam salah satu bencana paling mematikan dalam sejarah sepak bola dunia.

Baca Juga: Jokowi: Pengusutan Tragedi Kanjuruhan Jangan Ditutupi!

Mochamad Munif, anak keduanya, dan ibunda Munif, berada di samping pusara anaknya, Lutvia, yang tewas dalam tragedi Stadion Kanjuruhan. (Sumber: AFP via Straits Times)

Keluarga masih belum mengetahui penyebab kematian putrinya, apakah dia meninggal seketika atau kemudian di rumah sakit, tetapi Munif menyalahkan polisi.

"Mengapa (gas air mata) harus ditembakkan ke tribun?" dia bertanya.

"Sementara pendukung seperti putri saya tidak bersalah?!"

Banyak yang terbunuh karena sesak napas setelah didorong ke gerbang tertutup yang menjadi bengkok oleh kekuatan kerumunan. Munif mengatakan, wajah putrinya tidak menunjukkan luka bekas trauma.

Munif sedang merenovasi sebuah rumah di kota Surabaya, Jawa Timur, ketika rekan-rekannya mengatakan kepadanya bahwa sebuah peristiwa mematikan terjadi di Stadion Kanjuruhan di kota kelahirannya, yang berjarak dua jam berkendara. Kemudian dia mendapat telepon yang ditakuti setiap orang tua di dunia.

Putrinya berada di ambulans yang sedang dalam perjalanan ke rumah keluarga di Malang, kata adiknya melalui telepon, setelah dia menghadiri derby antara rival sengit Arema FC dan Persebaya Surabaya. Hatinya langsung hancur.

"Saya tahu bahwa jika dia berada di ambulans, dia sudah meninggal," kata pria berusia 47 tahun itu, menceritakan momen yang akan mengubah hidupnya selamanya.

Dia tidak dapat mengingat perjalanan pulangnya, yang dipenuhi kabut kesedihan.

Ketika tiba, dia menemukan tubuh yang tergeletak tanpa napas di lantai, lalu selembar kain yang menutupi tubuh itu ditarik ke belakang untuk memperlihatkan wajah putrinya. Setelah itu, Munif langsung pingsan.

Baca Juga: Soal Tragedi Kanjuruhan, Mahfud MD: Presiden Jokowi Minta Investigasi Menyeluruh

Kondisi gate atau pintu 13 Stadion Kanjuruhan setelah peristiwa kericuhan yang menelan setidaknya 131 nyawa, Selasa (3/10/2022). (Sumber: Kompas.com)

Ibunda almarhumah Lutvia enggan mengizinkan sang anak untuk pergi ke pertandingan yang begitu panas meskipun penggemar tandang dari Persebaya dilarang hadir di stadion. Namun, sang ibu akhirnya mengalah dan memberi izin.

"Dia memohon kepada ibunya, yang mengizinkannya setelah dia mengatakan kepadanya, 'Baru kali ini saya ingin menonton sepak bola. Saya tidak akan menontonnya lagi," kata Munif.

Munif marah dengan tanggapan polisi, menggambarkan tindakan mereka sebagai "tidak dapat diterima" dan menyalahkan mereka atas kematian putrinya.

Pedoman keselamatan FIFA melarang penggunaan gas pengendali massa oleh polisi atau petugas di pinggir lapangan.

Presiden Joko Widodo telah memerintahkan penyelidikan.

Tragedi itu telah memicu kemarahan rakyat Indonesia terhadap pasukan polisi yang telah lama dituduh oleh para kritikus menggunakan kekerasan berlebihan untuk memadamkan kerusuhan.

Enam tersangka menghadapi tuntutan pidana, termasuk tiga petugas polisi, dan pihak berwenang akan melakukan tinjauan keamanan semua stadion di seluruh negeri.

 

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV/Straits Times


TERBARU