> >

Setelah Sri Lanka, Negara-Negara Ini Berisiko Tinggi Dilanda Krisis Ekonomi, Indonesia Termasuk?

Kompas dunia | 7 Juli 2022, 05:05 WIB
Seorang buruh harian menunggu jatah pekerjaan di pasar Kolombo, Sri Lanka, 26 Juni 2022. (Sumber: Eranga Jayawardena/Associated Press)

YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Sri Lanka dihantam krisis ekonomi terparah sepanjang sejarah negara itu dan membutuhkan bantuan segera. Kebutuhan pokok dan bahan bakar minyak langka. Upaya Kolombo untuk mendapatkan dana talangan Dana Moneter Internasional (IMF) pun dirintangi keparahan krisis finansial.

Akan tetapi, Sri Lanka bukanlah satu-satunya negara yang dijerat masalah ekonomi serius. Seiring meroketnya harga pangan, bahan bakar, dan barang-barang lain seiring perang Rusia-Ukraina, berbagai negara juga terancam krisis ekonomi.

Melansir Associated Press, sekitar 1,6 miliar orang di 94 negara menghadapi setidaknya satu dimensi krisis pangan, energi, dan sistem finansial. Sekitar 1,2 miliar dari mereka tinggal di negara-negara “berbadai sempurna”, sesuatu yang, menurut laporan Global Crisis Response Group Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sangat rentan terhadap krisis biaya hidup ditambah economic strain jangka panjang lain.

Baca Juga: Jadi Negara Bangkrut, Sri Lanka Kesulitan Dapat Dana Talangan IMF

Penyebab ancaman-ancaman tersebut bervariasi, tetapi semuanya terkait dengan meroketnya harga-harga pangan dan bahan bakar, yang dipicu lebih jauh oleh perang Rusia-Ukraina. Perang disebut mendisrupsi berbagai sektor bisnis yang tengah memulihkan diri dari dampak pandemi Covid-19.

Akibatnya, Bank Dunia memperkirakan, pendapatan per kapita di negara-negara berkembang akan menjadi 5 persen lebih sedikit dibanding pendapatan pra-pandemi.

Di lain sisi, bunga utang yang lebih tinggi untuk mendanai paket pemulihan pandemi telah menjejali negara-negara yang sudah kesulitan membayar utang dengan utang luar negeri yang lebih tinggi. Menurut PBB, lebih dari setengah negara-negara termiskin di dunia sudah dalam kondisi kesulitan utang atau berisiko tinggi terkena.

Seorang bocah mengintip dari balik pintu yang dijaga personel militer ketika pembagian bantuan makanan di Kabul, Afghanistan, 16 Februari 2022. Sejak Taliban menguasai Afghanistan, bantuan asing terhenti sehingga memperparah krisis ekonomi negara itu. (Sumber: Hussein Malla/Associated Press)

Sejumlah krisis terparah melanda negara-negara yang telah dihancurkan korupsi, perang sipil, kudeta, atau bencana lain.

Berikut beberapa negara yang berisiko tinggi mengalami kebangkrutan seperti Sri Lanka:

Afghanistan: Ancaman krisis usai Taliban berkuasa

Afghanistan sudah terguncang krisis ekonomi buruk sejak Taliban mendepak pemerintahan yang disokong Amerika Serikat (AS) pada Agustus 2021 lalu. Berkuasanya Taliban seiring kebijakan Washington dan sekutu NATO yang menarik pasukannya dari Afghanistan.

Baca Juga: Krisis Pangan Mengancam Dunia, FAO: 47 Juta Orang di Dunia Kena Dampak Krisis Pangan

Bantuan asing yang selama ini menjadi penopang ekonomi Afghanistan pun terhenti. Berbagai pemerintahan juga memberlakukan sanksi, menangguhkan transfer bank, melumpuhkan perdagangan, serta menolak mengakui pemerintahan Taliban.

Pemerintahan Joe Biden sendiri membekukan 7 miliar dolar AS cadangan mata uang asing Afghanistan yang berada di AS. Sekitar setengah populasi Afghanistan terancam kekurangan pangan yang parah dan kebanyakan pekerja publik, termasuk dokter dan guru, tidak dibayar selama berbulan-bulan.

Argentina: Jutaan orang andalkan dapur umum untuk makan

Sekitar empat dari 10 warga Argentina dalam kondisi miskin dan bank sentral di Buenos Aires kekurangan cadangan devisa di tengah melemahnya mata uang negara itu.

Inflasi di Argentina pun diproyeksikan melampaui 70 persen pada 2022. Jutaan warga Argentina dilaporkan mengandalkan dapur umum dan program-program kesejahteraan masyarakat yang disokong gerakan sosial kuat yang terkait partai berkuasa saat ini.

Baca Juga: Inflasi Tembus 60 Persen, Argentina Naikkan Suku Bunga Acuan 300 Basis Poin

Belakangan ini, kesepakatan Buenos Aires dengan IMF untuk merestrukturasi 44 miliar dolar AS utang luar negeri dipertanyakan atas konsesi yang dikritik justru menghalangi pemulihan ekonomi.

Mesir: 103 juta jiwa hidup berkubang kemiskinan

Tingkat inflasi Mesir meroket hingga hampir 15 persen pada April lalu. Hal tersebut mempersulit kondisi ekonomi Mesir yang 103 juta warganya berkubang dalam kemiskinan.

Warga Mesir sendiri telah menderita oleh program-program reformasi yang memuat kebijakan penghematan seperti pemangkasan subsidi bahan bakar, air, dan listrik.

Seorang bocah pengungsi Afghanistan membawa seplastik mangga di bahunya. Foto diambil di Karachi, Pakistan, 19 Juni 2022. (Sumber: Fareed Khan/Associated Press)

Bank sentral negara itu telah menaikkan suku bunga untuk mengekang inflasi dan mendevaluasi mata uang, meningkatkan kesulitan membayar utang luar negeri Mesir yang sudah tinggi.

Cadangan devisa bersih milik Mesir pun menurun. Untuk membantu kesulitan ekonomi Mesir, negara tetangganya, yakni Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab telah menjanjikan 22 miliar dolar AS dalam bentuk deposit dan investasi langsung.

Laos: Terancam krisis karena dihantam pandemi Covid-19

Laos merupakan salah satu negara dengan perkembangan ekonomi tercepat sebelum pandemi. Tingkat utang luar negeri Laos meningkat.

Seperti Sri Lanka, Vientiane kini tengah berbicara dengan kreditur tentang bagaimana membayar utang miliaran dolar AS mereka.

Isu pembayaran utang luar negeri Laos terhitung mendesak, mengingat lemahnya keuangan pemerintah. Menurut Bank Dunia, cadangan devisa Laos setara atau kurang dari nilai impor selama dua bulan.

Baca Juga: Cari Bahan Bakar, Presiden Sri Lanka Telepon Vladimir Putin

Depresiasi mata uang Laos hingga 30 persen memperburuk keadaan. Juga, harga-harga yang melambung serta tingkat pengangguran karena pandemi memperparah kemiskinan.

Lebanon: Salah satu krisis terparah di dunia 150 tahun terkini

Lebanon, sebagaimana Sri Lanka, memiliki kombinasi faktor-faktor beracun penyebab krisis ekonomi seperti kolapsnya mata uang, meroketnya inflasi, ancaman kelaparan, kurangnya pasokan kebutuhan pokok, serta kelas menengah yang menyusut.

Lebanon juga menderita akibat perang sipil berkepanjangan. Pemulihan pasca-perang pun dihambat disfungsi pemerintahan dan serangan-serangan teror.

Seorang demonstran berteriak di antara penjagaan aparat bersenjata lengkap di luar kediaman pribadi presiden Sri Lanka di Kolombo, 31 Maret 2022. (Sumber: Eranga Jayawardena/Associated Press)

Myanmar: Proyeksi ekonomi suram pasca-kudeta

Dampak pandemi Covid-19 di Myanmar diperparah dengan kudeta militer terhadap pemerintahan Aung San Suu Kyi pada Februari 2021 silam. Kudeta pun berbuntut sanksi-sanksi Barat yang menyasar sektor komersial penggerak ekonomi yang dikuasai militer.

Ekonomi Myanmar berkontraksi hingga 18 persen pada tahun lalu, kemudian diproyeksikan hampir tidak bertumbuh sama sekali pada 2022.

Lebih dari 700.000 orang terpaksa mengungsi atau terusir dari rumah oleh konflik bersenjata dan kekerasan politis.

Situasi Myanmar disebut tidak jelas. Sehingga, proyeksi ekonomi global Bank Dunia tidak memasukkan Myanmar untuk tahun 2022-2024.

Turki: Inflasi tembus 60 persen, utang luar negeri capai 54 persen GDP

Keuangan pemerintah yang semakin buruk dan defisit modal serta perdagangan melengkapi masalah menumpuknya utang luar negeri Turki serta tingginya angka pengangguran. Inflasi Turki pun mencapai lebih dari 60 persen.

Baca Juga: Wow, Turki Berani Tahan Kapal Kargo Rusia, Diyakini Bawa Gandum Curian dari Ukraina

Bank Sentral Turki terpaksa menggunakan cadangan devisa untuk mengatasi krisis mata uang. Pemotongan pajak dan subsidi bahan bakar untuk meredam dampak inflasi telah melemahkan keuangan pemerintah.

Warga Turki kini disebut kesulitan membeli makanan dan bahan pokok lain. Utang luar negeri Turki pun mencapai 54 persen dari jumlah GDP negara itu.

Zimbabwe: Ancaman hiperinflasi di tengah dolarisasi

Inflasi di Zimbabwe kini tengah melampaui 130 persen, memicu ketakutan bahwa negara itu akan kembali ke masa hiperinflasi pada 2008 yang mencapai 500 miliar persen.

Zimbabwe sendiri saat ini tengah mendolarisasi sebagian besar ekonominya seiring ketidakpercayaan terhadap mata uang dalam negeri. Namun, Zimbabwe disebut kesulitan mendapatkan uang kertas yang diperlukan di tengah meningkatnya permintaan terhadap dolar AS.

Ekonomi Zimbabwe sendiri saat ini diterpa de-industrialisasi, korupsi, rendahnya investasi, ekspor rendah, serta utang luar negeri tinggi selama bertahun-tahun. Banyak keluarga di Zimbabwe yang terpaksa mengurangi makan karena sulit memenuhi kebutuhan.

Baca Juga: Brasil Alami Kerawanan Pangan, Dekati Level Zimbabwe


 

Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Associated Press


TERBARU