> >

Setelah Sri Lanka, Negara-Negara Ini Berisiko Tinggi Dilanda Krisis Ekonomi, Indonesia Termasuk?

Kompas dunia | 7 Juli 2022, 05:05 WIB
Seorang buruh harian menunggu jatah pekerjaan di pasar Kolombo, Sri Lanka, 26 Juni 2022. (Sumber: Eranga Jayawardena/Associated Press)

Cadangan devisa bersih milik Mesir pun menurun. Untuk membantu kesulitan ekonomi Mesir, negara tetangganya, yakni Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab telah menjanjikan 22 miliar dolar AS dalam bentuk deposit dan investasi langsung.

Laos: Terancam krisis karena dihantam pandemi Covid-19

Laos merupakan salah satu negara dengan perkembangan ekonomi tercepat sebelum pandemi. Tingkat utang luar negeri Laos meningkat.

Seperti Sri Lanka, Vientiane kini tengah berbicara dengan kreditur tentang bagaimana membayar utang miliaran dolar AS mereka.

Isu pembayaran utang luar negeri Laos terhitung mendesak, mengingat lemahnya keuangan pemerintah. Menurut Bank Dunia, cadangan devisa Laos setara atau kurang dari nilai impor selama dua bulan.

Baca Juga: Cari Bahan Bakar, Presiden Sri Lanka Telepon Vladimir Putin

Depresiasi mata uang Laos hingga 30 persen memperburuk keadaan. Juga, harga-harga yang melambung serta tingkat pengangguran karena pandemi memperparah kemiskinan.

Lebanon: Salah satu krisis terparah di dunia 150 tahun terkini

Lebanon, sebagaimana Sri Lanka, memiliki kombinasi faktor-faktor beracun penyebab krisis ekonomi seperti kolapsnya mata uang, meroketnya inflasi, ancaman kelaparan, kurangnya pasokan kebutuhan pokok, serta kelas menengah yang menyusut.

Lebanon juga menderita akibat perang sipil berkepanjangan. Pemulihan pasca-perang pun dihambat disfungsi pemerintahan dan serangan-serangan teror.

Seorang demonstran berteriak di antara penjagaan aparat bersenjata lengkap di luar kediaman pribadi presiden Sri Lanka di Kolombo, 31 Maret 2022. (Sumber: Eranga Jayawardena/Associated Press)

Myanmar: Proyeksi ekonomi suram pasca-kudeta

Dampak pandemi Covid-19 di Myanmar diperparah dengan kudeta militer terhadap pemerintahan Aung San Suu Kyi pada Februari 2021 silam. Kudeta pun berbuntut sanksi-sanksi Barat yang menyasar sektor komersial penggerak ekonomi yang dikuasai militer.

Ekonomi Myanmar berkontraksi hingga 18 persen pada tahun lalu, kemudian diproyeksikan hampir tidak bertumbuh sama sekali pada 2022.

Lebih dari 700.000 orang terpaksa mengungsi atau terusir dari rumah oleh konflik bersenjata dan kekerasan politis.

Situasi Myanmar disebut tidak jelas. Sehingga, proyeksi ekonomi global Bank Dunia tidak memasukkan Myanmar untuk tahun 2022-2024.

Turki: Inflasi tembus 60 persen, utang luar negeri capai 54 persen GDP

Keuangan pemerintah yang semakin buruk dan defisit modal serta perdagangan melengkapi masalah menumpuknya utang luar negeri Turki serta tingginya angka pengangguran. Inflasi Turki pun mencapai lebih dari 60 persen.

Baca Juga: Wow, Turki Berani Tahan Kapal Kargo Rusia, Diyakini Bawa Gandum Curian dari Ukraina

Bank Sentral Turki terpaksa menggunakan cadangan devisa untuk mengatasi krisis mata uang. Pemotongan pajak dan subsidi bahan bakar untuk meredam dampak inflasi telah melemahkan keuangan pemerintah.

Warga Turki kini disebut kesulitan membeli makanan dan bahan pokok lain. Utang luar negeri Turki pun mencapai 54 persen dari jumlah GDP negara itu.

Zimbabwe: Ancaman hiperinflasi di tengah dolarisasi

Inflasi di Zimbabwe kini tengah melampaui 130 persen, memicu ketakutan bahwa negara itu akan kembali ke masa hiperinflasi pada 2008 yang mencapai 500 miliar persen.

Zimbabwe sendiri saat ini tengah mendolarisasi sebagian besar ekonominya seiring ketidakpercayaan terhadap mata uang dalam negeri. Namun, Zimbabwe disebut kesulitan mendapatkan uang kertas yang diperlukan di tengah meningkatnya permintaan terhadap dolar AS.

Ekonomi Zimbabwe sendiri saat ini diterpa de-industrialisasi, korupsi, rendahnya investasi, ekspor rendah, serta utang luar negeri tinggi selama bertahun-tahun. Banyak keluarga di Zimbabwe yang terpaksa mengurangi makan karena sulit memenuhi kebutuhan.

Baca Juga: Brasil Alami Kerawanan Pangan, Dekati Level Zimbabwe

Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Associated Press


TERBARU