> >

Wawancara PM Sri Lanka: Terpaksa Beli Minyak Rusia, Tak Kapok Utang China

Kompas dunia | 12 Juni 2022, 14:29 WIB
Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe saat diwawancara Associated Press di Kolombo, Sabtu (11/6/2022). Dalam wawancara ini, Wickremesinghe memperbincangkan berbagai hal, antara lain manuver mengatasi krisis ekonomi, utang China, hingga perang Rusia-Ukraina. (Sumber: Eranga Jayawardena/Associated Press)

KOLOMBO, KOMPAS.TV - Perdana Menteri baru Sri Lanka Ranil Wickremesinghe seusai demonstrasi yang meletus pada Maret lalu, Ranil Wickremesinghe mengaku negaranya kemungkinan terpaksa membeli lebih banyak minyak Rusia untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar selama negaranya dihantam krisis ekonomi.

Suksesor Mahinda Rajapaksa itu memberikan wawancara khusus kepada Associated Press pada Sabtu (11/6/2022) di ibu kota Sri Lanka, Kolombo.

Dalam wawancara, Wickremesinghe memperbincangkan berbagai hal, antara lain manuver mengatasi krisis ekonomi, utang China, hingga perang Rusia-Ukraina.

Berikut poin-poin wawancara perdana menteri yang ditunjuk Presiden Gotabaya Rajapaksa untuk mengatasi krisis ekonomi itu sebagaimana dilansir Associated Press.

Tentang minyak Rusia

Ranil Wickremesinghe mengaku pihaknya ingin mengupayakan sumber minyak lain di luar Rusia. Namun, Kolombo kemungkinan akan membeli lebih banyak minyak dari Moskow seiring kebutuhan mendesak akibat krisis ekonomi.

Dua pekan lalu, Sri Lanka membeli 90.000 metrik ton minyak mentah dari Rusia untuk diolah di satu-satunya tempat penyulingan minyak di sana.

Baca Juga: Krisis BBM, Sri Lanka Minta Maskapai Dunia Datang dengan Tangki Penuh atau Isi Avtur di Tempat Lain

Wickremesinghe mengaku tidak mengetahui apakah Kolombo telah membuat kontrak pembelian yang lain lagi dengan Rusia. Ia sekadar menegaskan, Sri Lanka sangat membutuhkan bahan bakar dan tengah mengupayakan minyak dan batu bara dari pemasok-pemasok langganannya di Timur Tengah.

“Jika kami bisa mendapatkan (minyak) dari sumber lain, kami akan mendapatkannya dari sana. Jika tidak, (kami) mungkin harus pergi ke Rusia lagi,” kata Wickremesinghe.

Perdana menteri yang juga menjabat sebagai menteri keuangan Sri Lanka itu menegaskan mereka memprioritaskan suplai dari negara-negara Teluk Arab.

Rusia selama ini menawarkan diskon besar minyak mentah yang sangat menarik bagi sejumlah negara. Moskow melakukannya untuk memintas sanksi ekonomi Barat yang meluas sehubungan invasi Rusia ke Ukraina.

Sri Lanka sendiri secara resmi menyatakan sikap netral atas perang Rusia-Ukraina, sebagaimana banyak negara Asia Selatan lain.

Tentang utang China

Sri Lanka memiliki total 51 miliar dolar AS utang luar negeri yang menjadi salah satu pangkal penyebab krisis. Hampir 7 miliar dolar di antaranya yang jatuh tempo tahun ini pembayarannya ditangguhkan.

Utang menggunung membuat Kolombo tak punya uang untuk mengimpor kebutuhan dasar seperti makanan, bahan bakar, hingga korek api dan tisu toilet.

Krisis bahan pokok ini menimbulkan pemadaman listrik di mana-mana dan warga mesti mengantre berkilo-kilometer sekadar untuk mendapatkan gas dan bahan bakar.

Sejak krisis menerpa, Sri Lanka terus meminta pertolongan ke berbagai negara, termasuk China, kreditur negara itu yang paling kontroversial. China merupakan kreditur terbesar ketiga Sri Lanka.

Baca Juga: PM Sri Lanka Undang Kelompok Pemuda Pengunjuk Rasa Jadi Bagian dari Pemerintahan

Utang China membuat utang luar negeri Sri Lanka menggunung karena cenderung digunakan untuk proyek infrastruktur mahal yang gagal memberikan profit.

Kalangan oposisi menuduh klan Rajapaksa, keluarga yang menduduki posisi tertinggi di pemerintahan, menerima suap dari utang China.

Proyek yang dikritik antara lain adalah pelabuhan di Hambantota, kota asal mantan presiden, Mahinda Rajapaksa. Juga, sebuah bandara di dekatnya yang menjadi bagian proyek Inisiatif Sabuk dan Jalan China. Proyek-proyek ini dianggap menelan biaya terlalu banyak dan menyumbang terlalu sedikit bagi ekonomi.

“Kami harus mengidentifikasi apa saja proyek kami perlukan untuk pemulihan ekonomi dan mengambil utang untuk proyek-proyek itu, apakah iitu dari China atau dari yang lain. Pertanyaannya adalah di mana kami akan menaruh sumber daya itu?” kata Wickremesinghe.

Wickremesinghe mengaku tengah berundingdengan China mengenai restrukturasi utang Sri Lanka. Sebelumnya, Beijing telah menawarkan lebih banyak utang ke Sri Lanka, tetapi enggan mengorting utang yang sudah ada, kemunginan karena khawatir peminjam lain akan meminta keringanan yang sama.

“China dan beberapa negara lain telah setuju memberi bantuan ke Sri Lanka, yang mana merupakan langkah awal. Ini artinya mereka harus setuju terhadap bagaimana potongannya dan dengan cara apa pitu dilakukan,” lanjut sang perdana menteri.

Selain China dan sejumlah negara lain, Sri Lanka juga mencari bantuan finansial dari Program Pangan Dunia (WFP). Kolombo pun meminta paket bailout dari Dana Moneter Internasional (IMF).

Akan tetapi, Wickremesinghe mengaku bahwa pihaknya menduga uangnya tidak akan cair hingga setidaknya Oktober 2022.

Baca Juga: PM Sri Lanka Peringatkan Soal Potensi Kekurangan Pangan di Tengah Upaya Mengatasi Krisis Ekonomi

Di lain sisi, Wickremesinghe mengakui bahwa krisis ekonomi Sri Lanka terjadi karena “salah sendiri”. Banyak pihak menyalahkan mismanejemen pemerintahan, potongan pajak yang besar pada 2019, blunder kebijakan yang memicu gagal panen, serta merosotnya pariwisata karena pandemi Covid-19.

Wickremesinghe juga menekankan perang Rusia-Ukraina yang memperparah krisis ekonomi Sri Lanka. Ia menyebut, perang telah mengacaukan rantai pasok global, mendorong harga pangan dan bahan bakar meroket tak terkendali.

Tentang perang Rusia-Ukraina

Wickremesinghe berpendapat, perang Rusia-Ukraina yang berkecamuk sejak 24 Februari lalu hingga sekarang memperparah kondisi ekonomi Sri Lanka.

Akibat perang, sang perdana menteri menyebut ekonomi Sri Lanka diprediksi makin menyusut sebelum mampu memulai pembangunan dan penggantirugian pada tahun depan.

“Krisis Ukraina telah memengaruhi kontraksi ekonomi kami,” kata Wickremesinghe.

“Saya pikir pada akhir tahun, Anda dapat melihat dampaknya (perang Rusia-Ukraina) di negara-negara lain juga. Terdapat kekurangan stok pangan di dunia. Negara-negara mulai tidak mengekspor panganan,” kata Wickremesinghe.

Di Sri Lanka, dampak perang menyebabkan harga sayuran naik hingga tiga kali lipat. Pada saat bersamaan, tingkat kultivasi padi di Sri Lanka berkurang sekitar sepertiga dari tingkat normal.

Kekurangan pangan di Sri Lanka memengaruhi setiap kelas sosial, turut memicu protes berbulan-bulan yang kerap berujung ricuh.

Wickremesinghe mengaku, sebagai perdana menteri sekaligus warga negara, ia prihatin melihat negaranya menderita.

Wickremesinghe menyatakan bahwa ia belum pernah melihat krisis separah ini di Sri Lanka. “Kami memang sempat melalui masa-masa sulit, tetapi tidak seperti ini. Saya belum pernah melihat orang-orang tanpa bensin, tanpa makanan,” pungkasnya.

Baca Juga: Selayang Pandang Krisis dan Ambruknya Ekonomi Sri Lanka


 

Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Purwanto

Sumber : Associated Press


TERBARU