China Diminta Lihat Respons Barat atas Serangan Rusia ke Ukraina dan Berkaca untuk Masalah Taiwan
Kompas dunia | 14 Mei 2022, 10:43 WIBSINGAPURA, KOMPAS.TV - China diminta melihat dan memikirkan respons kuat Barat terhadap serangan Rusia ke Ukraina.
Hal itu agar China berkaca atas apa yang mungkin terjadi dalam masalah Taiwan dan Laut China Selatan.
Adalah mantan diplomat Singapura yang juga eks Kepala Sekretaris Kementerian Luar Negeri Singapura, Bilahari Kausikan yang mencoba memperingatkan China.
“Saya harap, kekuatan utama di wilayah kami, China khususnya, telah mencatat betapa bersatu dan kuatnya respons Barat,” ujarnya kepada CNBC, Jumat (13/5/2022).
Baca Juga: Jokowi Ungkap Pentingnya Perkuat Kemitraan ASEAN dan AS untuk Antisipasi Pandemi Mendatang
“China pun bisa memasukkannya sebagai perhitungan terkait Taiwan, Laut China Selatan dan Pulau Senkaku,” tambah Bilahari.
China hingga saat ini mengeklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya, meski negara kepulauan itu mengeklaim telah merdeka dari China sejak 1949.
Beijing juga tengah menghadapi sejumlah masalah terkait batas wilayah di Laut China Selatan, termasuk dengan Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam dan Taiwan.
Selain itu, China juga mengeklaim kepemilikan Pulau Senkaku, yang di China dikenal sebagai Pulau Diaoyu, yang saat ini di bawah kontrol Jepang.
Pernyataan Bilahari ini bertepatan dengan pertemuan antara Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dengan sejumlah pemimpin ASEAN, termasuk Presiden Joko Widodo.
Bilahari mengungkapkan, pertemuan itu sebagai bukti kembali normalnya diplomasi AS, setelah tahun-tahun tak menentu saat Donald Trump berkuasa.
“Trump sedikit menyimpang karena AS telah cukup konsisten melibatkan Asia Tenggara selama beberapa dekade,” ujarnya.
Baca Juga: Intelijen Ukraina Sebut Serangan Rusia akan Usai Akhir Tahun Ini: Puncak Perubahan pada Agustus
Bilahari yang pernah berperan sebagai Duta Besar Singapura untuk Rusia dan PBB, juga mengabaikan tuduhan bahwa ASEAN merupakan alat Barat, dalam persaingan dengan China.
“Kami bukanlah alat siapa pun,” tutur mantan diplomat berusia 68 tahun tersebut.
“Kami melihat China sebagai sarana untuk mengelola hubungan dengan AS dan Eropa. Kami juga melihat Eropa dan AS sebagai sarana untuk mengelola hubungan dengan China,” tambahnya.
Ia juga mencatat bahwa Asia Tenggara telah menjadi area kompetisi perebutan kekuasaan besar selama beberapa abad.
Penulis : Haryo Jati Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : CNBC