Inflasi di Eropa Meroket ke Rekor 7,5 Persen Dipicu Tingginya Kebutuhan dan Sanksi atas Energi Rusia
Kompas dunia | 1 April 2022, 19:06 WIBLONDON, KOMPAS.TV — Inflasi di Eropa melonjak ke rekor baru lainnya, menurut angka baru Uni Eropa yang dirilis Jumat (1/4/2022). Ini merupakan tanda baru bahwa kenaikan harga energi yang dipicu oleh perang Rusia di Ukraina, menekan konsumen dan menambah tekanan pada bank sentral untuk menaikkan suku bunga,
Melansir Associated Press, harga barang-barang konsumen di 19 negara yang menggunakan mata uang euro naik dengan tingkat tahunan 7,5 persen di bulan Maret, menurut badan statistik Uni Eropa, Eurostat.
Angka inflasi terbaru ini meruntuhkan rekor tertinggi bulan lalu ketika mencapai 5,9 persen, bulan kelima berturut-turut inflasi di zona euro mencatat rekor tingkat inflasi. Rekor baru ini membawa inflasi ke level tertinggi sejak pencatatan untuk euro dimulai pada tahun 1997.
Naiknya harga barang-barang konsumen adalah masalah yang berkembang di seluruh dunia. Ini membikin semua orang kian sulit membeli segala sesuatu, mulai dari bahan makanan hingga membayar tagihan listrik mereka.
Melonjaknya biaya energi adalah faktor utama yang mendorong inflasi di Eropa. Harga energi melonjak 44,7 presen bulan lalu, kata Eurostat, naik dari 32 persen di Februari.
Harga minyak dan gas melonjak karena meningkatnya permintaan dari ekonomi yang baru pulih dari kedalaman jurang pandemi Covid-19.
Inflasi melonjak lebih tinggi setelah Rusia, produsen minyak dan gas utama, menginvasi Ukraina.
Baca Juga: Penjualan Minyak Surut Akibat Sanksi AS dan Eropa, Rusia Tawarkan Diskon ke India
Peristiwa tersebut memunculkan kekhawatiran bahwa sanksi atas Rusia dan pembatasan ekspor dapat menghambat pasokan.
Di sebuah pasar rakyat di Cologne, Jerman, seorang konsumen, Andreas Langheim mengeluhkan bagaimana hidup menjadi lebih mahal.
"Saya bisa melihat efek kenaikan harga, terutama di pasar ini," kata Langheim, 62 tahun, sambil mengambil roti dari toko roti. "Semuanya lebih mahal sekarang."
Angka-angka terbaru itu, kata para analisis, kian mendesak Bank Sentral Eropa untuk mengambil tindakan.
Bank berusaha menyeimbangkan rekor inflasi dengan ancaman bahwa perang bisa merugikan ekonomi yang sebelumnya sudah berada di bawah tekanan.
Bulan lalu, Bank Sentral Eropa mempercepat upaya keluar dari stimulus ekonomi untuk memerangi inflasi. Namun, Bank Sentral Eropa belum mengambil tindakan lebih drastis.
"Kami berpikir bahwa ECB (European Central Bank) akan segera menyimpulkan mereka tidak bisa menunggu lebih lama lagi sebelum mulai menaikkan suku bunga," Jack Allen-Reynolds, ekonom senior Eropa di Capital Economics, dalam sebuah laporan.
Baca Juga: Kremlin: Tidak Ada Kiriman Gas ke Eropa bila Tidak Bayar Pakai Rubel, Rusia Tak Kirim Gratisan
Bank sentral lain mulai menaikkan suku bunga. Ini termasuk Amerika Serikat, yang inflasinya melonjak ke level tertinggi dalam 40 tahun terakhir, sebesar 7,9 persen.
Negara-negara Eropa yang tidak menggunakan euro, termasuk Inggris, Norwegia, dan Republik Ceko juga melakukan hal yang sama, yaitu menaikkan suku bunga.
Di zona euro, ada kenaikan harga untuk kategori pengeluaran lain selain energi.
Biaya makanan, alkohol, dan tembakau naik 5 persen, dibandingkan dengan 4,2 persen di bulan sebelumnya. Sementara, harga barang-barang seperti pakaian, peralatan, mobil, komputer, dan buku naik 3,4 persen, naik dari 3,1 persen. Ongkos layanan naik 2,7 persen, dibandingkan 2,5 persen sebelumnya.
Perdana Menteri Italia Mario Draghi, mantan presiden Bank Sentral Eropa, menguraikan bagaimana masalah tersebut menimpa kalangan rumah tangga.
“Inflasi naik karena harga bahan baku naik, khususnya untuk bahan makanan. Merekalah (inflasi) yang paling memukul daya beli keluarga,'' kata Draghi kepada wartawan asing, Kamis (31/3).
“Kekurangan beberapa bahan baku menciptakan hambatan dalam produksi dan memaksa kenaikan harga lebih lanjut,” tambah Draghi.
Draghi mengatakan, selama inflasi tetap bersifat sementara, pemerintah dapat merespons dengan langkah-langkah anggaran. Misalnya, membantu keluarga berpenghasilan rendah dengan biaya pemanas dan listrik yang lebih tinggi.
Tetapi jika itu menjadi masalah jangka panjang, responsnya harus struktural, katanya.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Associated Press