> >

Kisah Memilukan Penyintas Pengeboman berbagai Kota di Ukraina, Kelaparan dan Kehabisan Air Minum

Krisis rusia ukraina | 22 Maret 2022, 05:23 WIB
Orang-orang bersembunyi di tempat penampungan selama penembakan Rusia, di Mariupol, Ukraina, Kamis, 24 Februari 2022. (Sumber: AP Photo/Mstyslav Chernov)

MEDYKA, KOMPAS.TV — Yulia Bondarieva menghabiskan 10 hari di ruang bawah tanah ketika pesawat Rusia terbang dan menjatuhkan bom di berbagai lokasi kota Kharkiv di Ukraina. Setelah selamat mengungsi ke Polandia, satu-satunya harapan Bondarieva sekarang adalah agar saudara kembarnya di kota Mariupol yang terkepung juga keluar, seperti dilaporkan Associated Press, Selasa, (22/3/2022)

“Mereka berada di ruang bawah tanah sejak 24 Februari, dan belum keluar sama sekali,” kata Bondarieva. “Mereka kehabisan makanan dan air.”

Bondarieva berhasil berbicara dengan saudara perempuannya di telepon baru-baru ini. Ketakutannya luar biasa akan apa yang akan terjadi pada saudaranya di kota yang mengalami beberapa pertempuran terburuk dalam perang Rusia dan Ukraina.

“Dia tidak tahu bagaimana keluar dari kota,” kata wanita berusia 24 tahun itu setelah tiba di kota perbatasan Polandia, Medyka.

Pihak berwenang Mariupol mengatakan hanya sekitar 10% dari populasi kota yang berjumlah 430.000 berhasil menyelamatkan diri selama seminggu terakhir.

Dewan Kota Mariupol mengklaim beberapa ribu penduduk dibawa ke Rusia di luar kehendak mereka.

Bondarieva mengatakan saudara perempuannya memberi tahu dia tentang "tentara Rusia berjalan di sekitar kota" di Mariupol, dan orang-orang tidak diizinkan keluar, "Warga sipil tidak bisa pergi," katanya. "Mereka (tentara Rusia) tidak memberi mereka (warga sipil) apa-apa."

Baca Juga: Tentara Rusia yang Ditahan Ukraina Sebut Putin Membohongi Rakyatnya, Tegaskan Rusia Kalah Perang

Warga Ukraina yang melarikan diri dari kota Mariupol yang terkepung bersama penumpang lain dari Zaporizhzhia berkumpul di peron stasiun kereta api setelah tiba di Lviv, Ukraina barat, pada Minggu, 20 Maret 2022. (Sumber: AP Photo/Bernat Armangue)

Pertempuran memperebutkan pelabuhan strategis di Laut Azov berkecamuk mulai hari Senin. Tentara Rusia dan Ukraina melakukan perang kota, blok demi blok untuk menguasai Mariupol, di mana sedikitnya 2.300 orang tewas, dan sebagian dimakamkan di kuburan massal.

Maria Fiodorova, seorang pengungsi berusia 77 tahun dari Mariupol yang tiba Senin di Medyka, mengatakan 90 presen kota kini hancur lantak. “Tidak ada bangunan di sana (di Mairupol) lagi,” katanya.

Bagi Maryna Galla, hanya mendengarkan kicauan burung ketika dia tiba di Polandia adalah kebahagiaan setelah suara tembakan dan kematian di Mariupol.

Galla berjalan-jalan di taman di Przemysl bersama putranya yang berusia 13 tahun, Danil. Dari Polandia, dia berharap untuk pergi ke Jerman. "Akhirnya membaik," kata Galla.

PBB mengatakan hampir 3,5 juta orang meninggalkan Ukraina sejak dimulainya invasi Rusia pada 24 Februari, eksodus pengungsi terbesar di Eropa sejak Perang Dunia II.

Valentina Ketchena tiba dengan kereta api di Przemsyl hari Senin, (21/3/2022). Dia tidak pernah berpikir pada usia 70 akan dipaksa untuk meninggalkan rumahnya di Kriviy Rig, dan melihat kota di selatan Ukraina hampir sepi ketika orang-orang melarikan diri dari invasi Rusia demi keselamatan.

Kriviy Rig sekarang "setengah kosong," kata Ketchena. Dia akan tinggal sekarang bersama teman-temannya di Polandia, berharap untuk segera pulang. "Ini (adalah) waktu yang sangat sulit bagi semua orang."

Baca Juga: Kesaksian Jurnalis Internasional Terakhir di Mariupol: Kami Diburu Rusia, Melihat Langsung Derita

Seorang perempuan yang kehilangan suaminya dalam serangan artileri menangis sambil memeluk anaknya di rumah sakit Mariupol, timur Ukraina, 11 Maret 2022. (Sumber: Mstyslav Chernov/Associated Press)

Zoryana Maksimovich berasal dari kota barat Lviv, dekat perbatasan Polandia. Meskipun kota itu mengalami kerusakan yang lebih sedikit daripada yang lain, Maksimovich mengatakan anak-anaknya ketakutan dan menangis setiap malam ketika mereka harus pergi ke ruang bawah tanah untuk perlindungan.

"Saya memberi tahu anak-anak bahwa kami akan mengunjungi teman-teman," kata pria berusia 40 tahun itu. "Mereka tidak mengerti dengan jelas apa yang sedang terjadi tetapi dalam beberapa hari mereka akan bertanya kepada saya tentang di mana ayah mereka. ”

Seperti kebanyakan pengungsi, Maksimovich harus melarikan diri tanpa suaminya, karena pria berusia 18 hingga 60 tahun dilarang meninggalkan negara itu dan tetap tinggal untuk berperang. "Saya tidak tahu bagaimana saya akan menjelaskannya," katanya.

Begitu tiba di Polandia, para pengungsi dapat mengajukan nomor identitas lokal yang memungkinkan mereka untuk bekerja dan mengakses layanan kesehatan, sosial, pendidikan dan lainnya.

Irina Cherkas, 31, dari wilayah Poltava, mengatakan dia takut anak-anaknya bisa menjadi sasaran serangan Rusia.

“Demi keselamatan anak-anak, kami memutuskan untuk meninggalkan Ukraina,” katanya. "Ketika perang berakhir, kami akan segera pulang."

Polandia menampung sebagian besar pengungsi Ukraina, lebih dari 2 juta orang sejauh ini.

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas TV/Associated Press


TERBARU