Pengamat: Pelajaran buat Indonesia, Rusia Meninggalkan Bom Waktu Negara Berdasarkan Etnis
Krisis rusia ukraina | 5 Maret 2022, 05:05 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Konflik Rusia dan Ukraina yang saat ini terjadi tidak bisa dipisahkan dari terpecahnya negara Uni Sovyet sejak awal tahun 1990-an.
Ketika Rusia masih bernama Uni Sovyet, beberapa bagian memisahkan diri berdasarkan etnis. Uni Sovyet pecah menjadi 15 negara, seperti Azerbaijan, Uzbekistan, Ukraina, Belarus dan Georgia.
Menurut pengajar di Sastra Rusia dari Universitas Indonesia (UI) Ahmad Fahrurodji, terpecahnya Rusia berdasarkan etnis atau suku merupakan pelajaran penting bagi Indonesia.
"Rusia meninggalkan bom waktu. Karena negara-negara Uni Sovyet terpecah berdasarkan etnis. Padahal ketika pertama dibentuk negara ini di era Lenin dan Stalin bukan suku. Ini pelajaran buat Indonesia jangan mengubah struktur negara berdasarkan entis," kata Fahrurodji saat diwawancara KOMPAS.TV, Jumat (4/3/2022)
Ketika negara dibentuk berdasarkan suku tidak ada lagi penopang yang kokoh. Justru meninggalkan masalah di kemudian hari.
Menurut lulusan Faculty of Philology Lomonosov Moscow State University, ini apa yang terjadi dalam konflik Rusia dan Ukraina juga sangat kental dengan sentimen etnis. Serangan yang saat ini terjadi bukan terjadi secara tiba-tiba.
Menurutnya, ketika Rusia menyerang Ukraina, masalah sudah timbul sejak akhir 2013 dan awal 2014.
Ketika itu terjadi peristiwa yang disebut "Euromaidan", yaitu serangkaian unjuk rasa dan kerusuhan di Ukraina yang dimulai pada malam 21 November 2013 setelah meletusnya demonstrasi yang meminta integrasi yang lebih erat dengan Uni Eropa.
Baca Juga: KSAU: Perang Rusia-Ukraina Ternyata Berdampak pada Alutsista TNI
Demonstrasi ini meluas menjadi seruan agar Presiden Ukraina kala itu, Viktor Yanukovych dan pemerintahannya mengundurkan diri. Gerakan ini meluas dan menjadi gerakan anti Rusia.
Setelah peristiwa itu, kata Fahrurodji, maka hubungan kedua negara terus memanas. Rusia menuding bahwa pemerintahan Ukraina menjalankan apa yang disebutnya neo-nazi yakni tudingan kepada mereka yang anti Rusia.
Terutama terhadap masyarakat Ukraina Timur, yang dari sisi etnis lebih dekat dengan Rusia termasuk bahasa yang digunakan.
"Setelah peristiwa itu masyarakat Ukraina Timur merasa ketakutan," kata Fahrurodji yang juga penulis buku "Rusia Baru Menuju Demokrasi" ini. Bahkan Presiden Rusia Putin menuding terjadi genosida terhadap warga Ukraina Timur.
Baca Juga: Zelensky Tuduh Putin Bakar Tentara Rusia yang Tewas di Mobil Krematorium, Manipulasi Jumlah Korban
Namun pada 2015 sebenarnya sudah ada perjanjian, yaitu perjanjian Minks sebagai upaya menyelesaikan kasus secara damai antara separatis Ukraina pro Rusia dengan pemerintah Ukraina.
Karena itu, perang Rusia-Ukraina yang saat ini terjadi, disebutnya sangat tergantung dari kesepakatan dari dua negara tersebut. "Tujuan Presiden Putin itu menghilangkan Neo Nazi dengan mengganti pemerintahan sekarang dan demiliterisasi di Ukraina. Tapi ini tidak mudah sebab ada intervensi negara-negara barat yang berpihak ke Ukraina," jelasnya.
Sehingga lamanya perang juga masih sulit diramalkan.
Namun, menurut Fahrurodji, warga di Indonesia tidak boleh terjebak dalam pemihakan kepada salah satu negara.
"Tidak boleh meninggikan yang satu dan merendahkan yang lain. Biar saja itu diselesaikan oleh mereka (Rusia dan Ukraina)," katanya.
Sebab hubungan Indonesia dengan Rusia dan Ukraina sangat baik. Hubungan dengan Rusia, Indonesia punya kerja sama baik bahkan sebelum Covid-19, sudah ada perjanjian dalam rangka strategis partnership. "Ini merupakan perjanjian diplomatik strategis kemitraaan pada level diplomatik sebelum Covid-19 merebak," tambahnya.
Sementara dengan Ukraina hubungan baik terlihat dari sejarah diplomatik Indonesia-Ukraina.
Menurutnya, dalam konflik Rusia-Ukraina tidak boleh ada yang membawa ke unsur SARA. Persoalan Rusia dan Ukraina biar diselesaikan oleh kedua negara tersebut.
Penulis : Iman Firdaus Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV