China Tolak Jatuhkan Sanksi Keuangan kepada Rusia, sementara Inflasi Eropa Catat Rekor Tertinggi
Krisis rusia ukraina | 2 Maret 2022, 19:32 WIBBEIJING, KOMPAS.TV - Regulator bank China mengatakan Beijing tidak akan bergabung dengan Amerika Serikat (AS) dan Eropa dalam menjatuhkan sanksi keuangan kepada Rusia, seperti dilaporkan Associated Press, Rabu (2/3/2022).
China adalah pembeli utama minyak dan gas Rusia dan merupakan satu-satunya pemerintah utama yang menahan diri untuk tidak mengkritik serangan Moskow terhadap Ukraina.
Beijing tidak menyetujui sanksi terhadap Rusia, yang diyakini tidak memiliki dasar hukum dan "tidak akan memiliki efek yang baik," kata Guo Shuqing, ketua Komisi Regulasi Perbankan dan Asuransi China.
"Kami tidak akan bergabung dengan sanksi seperti itu, dan kami akan menjaga pertukaran ekonomi, perdagangan dan keuangan yang normal dengan semua pihak terkait," kata Guo dalam konferensi pers. "Kami tidak menyetujui sanksi keuangan."
Baca Juga: Rusia Invasi Ukraina: China Tolak Sanksi dan Tak Salahkan Rusia, Erdogan Lakukan Mediasi
Sementara itu, lonjakan biaya energi melejitkan tingkat inflasi di Eropa ke rekor tertinggi. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kapan bank sentral harus turun tangan untuk meringankan beban masyarakat, sementara invasi Rusia ke Ukraina mengguncang ekonomi global.
Harga konsumen di 19 negara yang menggunakan mata uang euro meningkat 5,8 persen secara tahunan di bulan Februari, lapor badan statistik Uni Eropa, Eurostat, Rabu (2/3/2022).
Inflasi saat ini memecahkan rekor di tingkat 5,1 persen bulan lalu, bulan keempat berturut-turut puncak inflasi sepanjang masa sejak pencatatan untuk euro dimulai tahun 1997.
Angka-angka terbaru inflasi Eropa menggarisbawahi penderitaan yang berkelanjutan bagi konsumen di benua itu, dan menambah lebih banyak tekanan pada Bank Sentral Eropa karena bergulat dengan pertanyaan kapan harus menaikkan suku bunga untuk mengurangi harga tinggi.
Baca Juga: Sanksi Ekonomi Rusia, Visa dan Mastercard Blokir Beberapa Lembaga Keuangan Rusia!
Inflasi di Eropa, seperti di negara-negara ekonomi besar lainnya, dipicu oleh melonjaknya harga energi, dan masalahnya dibikin lebih runyam oleh invasi Rusia ke Ukraina.
Rusia, produsen minyak dan gas utama, terkena sanksi dan pembatasan ekspor yang menimbulkan kekhawatiran bahwa pasokan dapat terputus, meskipun itu belum terjadi.
Sebelum konflik Rusia - Ukraina meletus, kepala Bank Sentral Eropa mengatakan, rekor inflasi bisa bertahan "lebih lama dari yang diharapkan" dan tampaknya membuka setidaknya celah untuk kenaikan suku bunga tahun ini.
Eurostat mencatat, biaya energi naik lebih cepat bulan lalu, naik 31,7 persen dibandingkan dengan 28,8 persen pada bulan Januari.
Sebaliknya, kategori lain melihat kenaikan yang lebih kecil. Biaya makanan naik 4,1 persen, barang tahan lama naik 3 persen dan harga jasa naik 2,5 persen.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Associated Press