> >

Kekeringan Parah Akibat Perubahan Iklim di Amerika Barat Daya, Terburuk Selama 1.200 Tahun

Kompas dunia | 15 Februari 2022, 13:18 WIB
Sebuah perahu kecil melihat dari dekat tebing berbeda warna yang menunjukkan perbedaan batas air saat kekeringan parah saat ini di Danau Mead, bukti permukaan airnya yang rendah, saat mengunjungi Bendungan Hoover. (Sumber: Los Angeles Times / Allen J. Schaben )

PARIS, KOMPAS.TV - Dua dekade terakhir Amerika Serikat bagian Barat Daya dan sebagian Meksiko mengalami kekeringan terburuk sepanjang 1.200 tahun. Sebuah penelitian di Amerika Serikat melihat, pemanasan global yang disebabkan manusia menyumbang lebih dari 40 persen intensitas musim kemarau, seperti penelitian yang diterbitkan jurnal Nature Climate Change, yang dilansir Straits Times, (15/2/2022).

“Tanpa perubahan iklim antropogenik, kekeringan pada pergantian abad ke-21 tidak akan berada pada lintasan jalur kekeringan separah ini,” tutur sang peneliti, Dr Park Williams, seorang profesor di University of California di Los Angeles.

Selama dekade terakhir, California dan negara bagian kawasan barat lainnya mengalami kekurangan air yang parah, memicu pembatasan penggunaan air secara berkala dan memaksa beberapa komunitas untuk mengimpor air kemasan untuk minum.

Salju atau hujan lebat sesekali tidak cukup untuk mengimbanginya.

Menurut Pemantau Kekeringan pemerintah Amerika Serikat, pada tahun 2021 kawasan tersebut sangat kering, di mana pada 10 Februari, 95 persen wilayah barat Amerika Serikat mengalami kondisi kekeringan.

Musim panas lalu, dua waduk terbesar di Amerika Utara, Danau Mead dan Danau Powell, mencapai level terendah muka air danau yang tercatat dalam lebih dari satu abad.

Menurut temuan tersebut, kemungkinan besar musim kemarau saat ini akan berlanjut setidaknya selama beberapa tahun, mungkin lebih lama.

Menggunakan simulasi berdasarkan catatan kelembapan tanah sejak 1.200 tahun lalu, para peneliti menghitung, terdapat peluang 94 persen kekeringan akan berlanjut hingga 2022.

Analisis lingkaran pohon menunjukkan wilayah barat Pegunungan Rocky dari Montana selatan hingga Meksiko utara berulang kali dilanda apa yang disebut kekeringan besar, yang berlangsung setidaknya selama 19 tahun, antara tahun 800 dan 1600.

Baca Juga: Dampak Krisis Iklim: Kekeringan Parah dan Kelaparan Ancam Jutaan Jiwa di Tanduk Afrika

Sebuah kapal sedang melewati bukit di Danau Mead di Amerika Serikat tahun 2014, dimana terlihat batas air sebelum dan sesudah kekeringan parah danau tersebut. (Sumber: The Arizona Republic/Mark Henle)

Penelitian sebelumnya menetapkan bahwa periode tahun 2000-2018 kemungkinan merupakan kekeringan terburuk kedua sejak tahun 800, dipuncaki oleh satu kekeringan di akhir tahun 1500-an.

Dalam penelitian tersebut juga ditemukan, kekeringan saat ini akan lebih buruk daripada yang terjadi di Abad Pertengahan, menurut data tahun 2019 - 2021, yang didukung oleh model iklim baru yang dirilis tahun lalu.

Amerika Utara bagian Barat bukan satu-satunya wilayah yang dilanda periode kering yang semakin parah.

Perubahan iklim memperburuk kekeringan akibat El Nino tahun 2015 - 2016, yang menyebabkan kegagalan panen, matinya ternak, wabah demam Lembah Rift, dan meningkatnya kekurangan gizi.

Secara global, 800 juta hingga tiga miliar orang diproyeksikan mengalami kelangkaan air parah akibat kekeringan yang disebabkan oleh pemanasan 2 derajat C di atas tingkat pra-industri, menurut draf laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) setebal 4.000 halaman tentang dampak iklim.

Di dunia yang mengalami kenaikan suhu sebesar 4 derajat C, angka itu mencapai empat miliar orang.

Permukaan bumi menghangat rata-rata 1,1 derajat C, dan dalam dua dekade hampir pasti akan menembus batas kenaikan suhu bumi sebesar 1,5 derajat C seperti disebut dalam Perjanjian Paris.

Peristiwa cuaca ekstrem alami lainnya yang dibikin parah oleh pemanasan global adalah gelombang panas yang mematikan, tingginya curah hujan penyebab banjir, dan badai besar.

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas TV/Straits Times/Nature Climate Change Journal


TERBARU